FLP LAWYERS
FLP LAWYERS
Constitutional Aspect Kewenangan Penjaminan Oleh Advokat, Catatan Penasehat Hukum dan Keterangan Ahli (Bag 1)

Hal paling menarik dari hukum visavis tata-negara adalah soal constitutional aspect, rasanya ini yang paling mengena dan fokus, dalam konteks republikan. Menurut penulis, secara politik-hukum kita harus mengkaitkan dengan alas demokrasi, sebab ini soal antara mayoritas dan hak minoritas.

Hak menentukan nasib sendiri memberi penekanan pondasi utama kebernegaraan, yaitu aspek konstitutif (constitutive aspect), bahwa semua tata aturan yang ada di dalam pemerintahan harus merupakan hasil dari proses-proses yang dilandasi kehendak rakyat atau masyarakat (the will of the people or peoples) yang diatur olehnya.

Terdapat sebuah teori dimana suatu aturan akan dikatakan sebagai suatu hukum bilamana aturan tersebut telah ditetapkan, sehingga sebelum adanya penetapan, maka aturan tersebut belum dianggap sebagai hukum dan belum pernah ada atau lahir sebelumnya.

Padahal, teori tersebut hanya berkaitan dengan Asas legalitas dari Johan Anselm von Feuerbach (Lehrbuch des peinlichen recht: 1801) melalui adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali.

Menurut Machteld Boot dengan mengutip pendapat Jescheck dan Weigend, pada intinya hanya berkaitan dengan ada tidaknya unsur atau perbuatan pidana, sama sekali tidak berkaitan dengan hukum acara peradilan.

Namun, hal tersebut menjadi kerangka berpikir untuk hukum acara yang selalu ditekankan oleh APH untuk merelatifisir kehadiran, peran dan fungsi dari Advokat dalam sistem peradilan pidana terpadu. Impunitas, overspanning, mengamputasi kewenangan institusi lain dan sistem berjalan berdasarkan tafsir institusional.

Advokat sangat paham bahwa setiap perkara selalu didasarkan pada catatan dan dokumen sebagai bagian administratif yang harus dipenuhi, yang apabila tidak maka secara hukum dianggap tidak sah.

Di sisi lain, Advokat juga paham bahwa ketika keabsahan dipermasalahkan melalui prosedur pra-peradilan (misalnya) yang berdasarkan UU maka hal tersebut selalu dianggap sebagai langkah perlawanan, dimana setelah putusan pra-peradilan dan orang dikalahkan maka segera dilakukan penahanan atasnya.

Padahal, sangat mungkin bahwa banyak sekali perkara yang menjadi proyek transaksional, mulai dari yang ringan hingga yang terberat sekalipun. Ironis sekali jika dikatakan bahwa hukum acara secara argumentatif disebut tergantung pada politik hukum aktual.

Artinya, jika politik hukum pada suatu penguasa sudah tidak digunakan lagi dalam kekuasaan yang lain atau berikutnya, maka demikian juga dengan penegakan hukumnya yang akan berubah makna dan tafsiran, yang notabenenya selalu didasarkan pada ego sektoral.

Sangat tampak dalam beberapa tahun belakangan ini bagaimana pengguna politik hukum sebelumnya kemudian akan menjadi korban pada politik hukum baru yang disepakati untuk dijalankan, sungguh materi kejahatan penguasa yang disajikan secara terbuka oleh warga negaranya, bahkan dunia.

Pada zaman Romawi dahulu dikenal adanya crimine extra ordinaria yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang. Di antaranya adalah crimen stellionatus yang secara letterlijk artinya perbuatan jahat atau durjana. Ketika hukum Romawi kuno diterima di Eropa Barat pada abad pertengahan, crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang berkuasa dan cenderung menggunakan hukum pidana itu sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhan raja. (Moeljatno, 2015: 26)

Aturan yang memberikan kewenangan itulah yang memberikan celah absolutisme untuk berlaku sebagai sebagai the only game in town, bukan UU-nya yang menekan melainkan kewenangan politik hukum itu yang opresif, menjadi all embrace act atau alll purpose law terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah pidana, mencakup semua makna kepentingan negara, padahal hanya dalam batasan pemerintah.

Berkaitan dengan hal itu, mengutip uraian Prof. Gayus Lumbuun tentang Bangalore Principles tahun 2001 yang menurut penulis sebenarnya masih menjadi kelemahan karena hanya menekankan pada aspek internal saja sebagai prinsip etika peradilan sebagaimana dikatakan oleh Dr. Hatta Ali.

Penulis lebih cenderung pada Siracuse Principles tahun 1981 yang mana secara eksplisit menyebut suatu peradilan “independen dari pengaruh eksekutif dan legislatif” yang mempunyai yurisdiksi terhadap semua hal yang berkaitan dengan hal-hal di bidang peradilan.

Perubahan Paradigma

Merujuk pada penghormatan yang tinggi terhadap hak asasi dengan “due process of law” ternyata rumusan KUHAP masih saja sarat dengan muatan “crime control model/system” yang pasti tetap membuka institusional secara sektoral atau bahkan tidak perlu lagi merubah aturan institusinya sebab sudah diakomodasi oleh RKUHAP ini, alih-alih menyempurnakan rumusan sesuai kebutuhan masyarakat malah fokus kepada authority (kewenangan) dan kekuatan penyelidik, penyidik serta penuntutan.

Padahal, tujuan sudah berubah dari crime control model/system dengan prinsip pressumption of guilt kepada pressumption of innocence.

Sebagaimana sempat dirumuskan pada Pasal 86 ayat (1), Dalam melakukan penetapan Tersangka, Penyidik dilarang melakukan perbuatan yang menimbulkan praduga bersalah dengan cara mengumumkan penetapan Tersangka kepada publik dan/atau mengenakan atribut tertentu kepada Tersangka yang menunjukkan Tersangka bersalah (Jika belum berubah) – sejak penyidikan.

Pengakuan terhadap “peran” Advokat (mungkin) sudah dan bisa dirumuskan, akan tetapi “fungsinya” seolah dirumuskan dengan tidak menjaga “kesetaraan”, sehingga sangat dikenali bakal terjadi “subordinasi”, hanya dipandang sebelah mata dan sekedar pelengkap seperti sejarah pokrol sebagai pemenuhan formalistik hukum acara.

Di lapangan, kita sangat paham mengenai kapan sebenarnya orang berhadapan dengan hukum pidana membutuhkan peran PH, jasa atau banyuan hukum.

Kita hanya perlu menjawab pertanyaan yang selalu ada di lapangan, yaitu:

  1. Kapan seseorang berstatus sebagai tersangka? Yaitu, sejak adanya pelaporan yang menunjuk seseorang atau beberapa orang sebagai terduga
  2. Kapan orang sudah mendapat vonis? Adalah ketika ditetapkan sebagai tersangka bahkan ditahan
  3. Kapan orang harus mendapat bantuan hukum untuk membela dan mempertahankan hak-haknya sebagai subjek hukum pidana? Mestinya, sejak dilaporkan/diadukan.

Kebutuhan atas jasa atau bantuan hukum tidak bisa dipandang hanya dari kewenangan Advokat, tapi secara konstitusional adalah pada kebutuhan hak asasi seseorang dimana negara wajib mememenuhinya, tidak bisa dihilangkan meski memang perlu pembatasan.

Standar adanya pendampingan penasihat hukum yang bersifat wajib tanpa pengecualian untuk setiap tahap pemeriksaan harus ada, sejak klarifikasi, penyelidikan, penyidikan dan persidangan, sebagai pengimbang dan pembanding kebenaran materiil, meskipun ada surat penolakan namun tidak bisa dinilai mewakili kehendak orang yang berhadapan dengan hukum pidana.

Penolakan hendaknya hanya dilakukan terhadap pembiayaan atas Advokat, sehingga kewajiban Negara untuk membiayainya baik sebagian atau seluruh biaya.

Perlu dipahami soal distribusi dan pembagian kewenangan yang sejatinya memang di desain untuk mengendalikan dan membatasi praktek absolutisme. Syarat dari sentralisasi dalam prakteknya harus melalui transfer kekuasaan kepada siapa yang disepakati untuk berdaulat, maka harus ada kompromi yang melibatkan setiap elemen yang ada dalam sistem hukum pidana.

Tantangan selanjutnya adalah dalam pembentukan UU-nya butuh meaningful participation dari masyarakat, sebab resultan politik berkaitan harus melibatkan elemen publik, bukan sekedar political will dari kontrak politik tapi kontrak sosial.

Pengendalian perkara harus tetap ada di ranah petugas pengadilan dalam sistem hukum pidana, instrumen kelembagaan pengendalian perkara sudah diatur dalam KUHAP baik melalui koordinasi, pengawasan, praperadilan dan diferensiasi fungsional, pengaturan tersebut supaya tidak terjadi “kekuasaan satu tangan”.

Mungkin, banyak yang berpendapat bahwa seseorang itu belum dinyatakan sebagai tersangka, akan tetapi hak untuk memahami hukum dan peristiwa yang berkaitan dengan dugaan tindak pidana itu harus diberikan sejak sebagai terduga.

Sehingga, proses gelar perkara awal ketika suatu peristiwa itu memenuhi unsur tindak pidana orang tersebut sudah berada dalam situasi terlindungi secara hukum atas hak-haknya, bahkan secara bebas pun seseorang itu kapanpun saatnya sudah memegang hak untuk didampingi.

Secara singkat dalam implementasinya, untuk membangun benteng tahap pra-ajudikasi dan ajudikasi, pertama, pada penyelidikan sebelum gelar perkara I, dan kedua, tahap pertimbangan sebelum putusan pengadilan.

Dalam hal dilakukannya penjaminan oleh Advokat, tidak diperlukan adanya surat-surat permohonan kecuali pernyataan secara lisan.

Penjaminan terhadap klien yang dilakukan oleh Advokat sudah sangat dikenal dalam hukum, seperti misalnya jaminan uang (money bond), kepastian (surety bond), kehadiran (appearance bonds), dan moral (moral bonds).

Ditulis oleh Adv. Agung Pramono

Penolakan Atas Advokat Adalah Penyimpangan HAM

Masih banyak rumusan dalam Rancangan Hukum Acara Pidana tanggal 17 Februari 2025 yang mereduksi kehadiran Advokat, perhatian penulis tertuju pada Pasal 146 ayat (4) yang berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku  jika Tersangka atau Terdakwa menyatakan menolak untuk didampingi Advokat yang dibuktikan dengan berita acara.”

Ketentuan Pasal 28 H ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, dijabarkan pula dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 54, 55 dan 56 KUHAP bahwa pemberian bantuan hukum tersebut dimulai dari tingkatan pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan sampai dengan pemeriksaan di pengadilan.

Selanjutnya, Pasal 114 KUHAP menyatakan dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasehat hukum.

Pijakan dalam hukum acara pidana adalah prinsip peradilan yang adil (fair trial), hukum acara pidana harus dibentuk agar para unsur penegak hukum yang terkait di dalamnya jangan sampai melakukan paksaan kekuasaan (abuse of power).

Tugas dan tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan terhadap warganya merupakan alas perjanjian sebagaimana dikemukakan John Locke dan Thomas Hobbes dalam du Contract social dan factum subjectionis. [Theo Huijbers. 1988, Fisafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Kanisius, Yogyakarta. hal 82 88]

Disisi lain, dalam hal terdakwa menolak didampingi oleh penasehat hukum maka hal tersebut harus dimuat di dalam berita acara persidangan untuk menghindari dibatalkannya putusan.

International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) sudah ada 15 tahun sebelum lahirnya KUHAP yang memberikan pandangan atas beberapa substansi yang sangat urgent sampai saat ini telah mempengaruhi pula penafsiran dalam penarapan Hukum Acara Pidana.

Lembaga Penasehat Hukum

Peran seorang Advokat/Penasihat Hukum sudah secara jelas dimuat dalam ketentuan UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang antara lain dalam pasal 56 ayat (1) menyatakan bahwa, “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.”

Dan, UU Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Pasal 68B ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.”

Maka, lembaga Penasihat Hukum yang secara khusus pengadaannya menjadi syarat saat sedang dilakukan pemeriksaan sebagai implementasi dari asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Artinya, urgensi Advokat/Penasihat sudah lahir sejak seseorang diduga sebagai pelaku tindak pidana, sebagaimana isi Pasal 114 KUHAP sebelumnya.

Hak sebagaimana dalam rumusan dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP mutlak wajib diberikan oleh negara, karena tersangka membutuhkan diberikannya hak tersebut sebagai konsekuensi logis atas kebebasan yang dirampas oleh negara, sementara kesalahannya belum dibuktikan.

Menurut penulis, fungsi paling dasar dari lembaga penasehat hukum antara lain sebagai pengembanan hukum (rechtsbeoefening), authorized adjudicator penterjemah konstruksi fakta kedalam bahasa hukum, merujuk pada kewenangan memaksakan hukum (wetshandhaver) dan membantu hakim mencari kebenaran (waarheid).

Mr. Soemarno P. Wiryanto memberikan pendapatnya mengenai rasio atas rahasia pekerjaan Advokat, bahwa “hubungan advokat/pengacara dengan klien bersama halnya hubungan pasien dengan dokter dan hubungan orang dengan pastor, domine dan sebagainya ialah hubungan kepercayaan mutlak. Advokat/pengacara tak dapat membela baik, kalau ia tidak mengetahui rahasia-rahasia mengetahui semua rahasia-rahasia kliennya sampai seakan-akan tak ada hubungan dengan perkara yang diserahkan.”

Hubungan kepercayaan adalah “the lawyer as a fiduciary” (pengacara sebagai orang terpercaya) dan adanya “the duty of fidelity”  (amanah) advokat terhadap kliennya.

Sifat “clientenverhouding” ini menimbulkan konsekuensi bahwa Advokat dibebani kewajiban merahasiakan segala apa yang diterima dari klien sekaligus hak atas perlindungan hukum, maka dirumuskan dalam Kode Etik Advokat Pasal 19 ayat (2) yang melindungi hak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumen dari penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi.

Namun, prinseip tersebut bukan tidak tak terbatas sebab sistem peradilan pidana “adversary” di Indonesia tidak semata-mata berlaku “accusatorial” (berpihak kepada klien), tetapi juga berlaku sistem “inquisitorial” (berpihak pada keadilan), dan ini yang membutuhkan integritas profesional dari Advokat.

Urgensi perumusan tugas dan kewenangan Advokat selaku Penasehat Hukum dalam KUHAP menjadi linear ketika dipahami bahwa Advokat merupakan hal yang inheren dan visavis dengan fungsi Kepolisian dan Kejaksaan.

Seringkali penafsiran atas hak masyarakat dan Advokat itu diterjemahkan secara sepihak oleh APH sebatas pola pikirnya saja, by institution dan bukannya by system sehingga ironisnya masyarakat awam lebih takut dengan seragam ketimbang taat dengan hukum.

Advokat Bukan Hambatan

Penasehat hukum selaku pembela masyarakat (public defender) haruslah aktif, sehingga keputusan hakim tidak hanya berasal pada tuntutan Jaksa penuntut umum akan tetapi untuk mencapai tujuan hukum acara pidana yaitu kebenaran yang nyata, perbuatan yang benar-benar dilakukan oleh terdakwa, atau hubungan erat yang nyata antar pihak dalam perbuatan pidana tersebut.

Pledooi pada dasarnya juga merupakan tuntutan yang diajukan dalam proses peradilan yang sah, tidak boleh dihalang-halangi, kekuasaan negara yang lahir dari hak kemanusiaan, sebagai fungsionaris dari kekuasaan kehakiman.

Ketika Jaksa menuntut seseorang atau sekelompok orang untuk dihukum karena dianggap merugikan orang lain ataupun pemerintah dalam kaitannya dengan tugas negara, maka Advokat menuntut negara/pemerintah ketika merugikan terdakwa sehingga harus dilepaskan atau dibebaskan.

Demikian juga dengan pengumpulan data Advokat setara dengan penyelidikan dan penyidikan, harus dihormati. Artinya, Advokat adalah lembaga penasehat yang setara namun dengan sudut pandang yang berbeda.

Tidak jelasnya sanksi terhadap pejabat yang berwenang atas tidak dilaksanakannya kewajiban Pasal 56 ayat (1) KUHAP menjadikan kata “wajib” sebagai rumusan yang kehilangan sifat imperatifnya. Padahal, implikasi hukumnya adalah Berita Acara Pemeriksaan, penggeledahan, surat dakwaan hingga tuntutan tidak sah dan cacat hukum, bahkan apabila Hakim tidak menjalankan kewajibannya untuk menunjuk penasehat hukum bagi terdakwa sebagaimana dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP maka bisa berakibat dapat dibatalkannya putusan.

Implisit, hal tersebut juga termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2012.

Penolakan Atas Advokat

Norma hukum pasti menimbulkan hak bagi tersangka atau terdakwa dan sekaligus menimbulkan kewajiban bagi penyidik, penolakan atas lembaga penasehat hukum tidak serta merta menggugurkan hak dan/atau kewajiban negara melindungi hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights).

Fenomena Surat Pernyataan Penolakan Didampingi Penasihat Hukum (SP2DPH)  menunjukkan bahwa negara gagal menjamin bahwa hak yang diberikan itu benar-benar dilaksanakan dan sampai kepada subjek yang dituju yaitu tersangka atau terdakwa.

Melalui KUHAP negara menetapkan bahwa hak yang diatur di dalam Pasal 56 ayat (1) bersifat mutlak, dan oleh karenanya wajib diselenggarakan atas biaya negara kepada setiap tersangka atau terdakwa tanpa melihat ancaman hukumannya.

Ini merupakan konsekuensi logis dari perampasan kemerdekaan tersangka atas dugaan tindak pidana, sementara kesalahannya masih harus dibuktikan. Sebab satu haripun berada di dalam tahanan, tersangka bisa saja mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, bahkan kematian.

Seringkali penulis berpikir bahwa “kewajiban menunjuk penasihat hukum” dianggap sebagai hambatan, sebab terdapat kecenderungan APH untuk menggantikan tujuan formal yang ditentukan oleh Pasal 56 ayat (1) KUHAP dengan kebijakan dan tindakan-tindakan yang menghasilkan keuntungan maksimal dan mengurangi hambatan minimal bagi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

SP2DPH kadang dilakukan oleh APH untuk menghilangkan hambatan terhadap rutinitas pekerjaan, demi kelancaran rutinitas dan efisiensi kerja APH maka kepentingan tersangka atau terdakwa dan/atau penasihat hukum dikesampingkan, ini merupakan fenomena yang dijelaskan oleh Chamblis dan Seidman. [Chamblis & Seidman (1971: 265) dalam Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta, Genta Publishing, 2009, hlm. 50]

Seperti kebijakan bagi tersangka atau terdakwa untuk membuat SP2DPH melalui Surat Edaran Kejaksaan Agung RI NO. B570/F/Fpk.1/9/1994, yang pada intinya berisi “secara sadar dan atas kemauan sendiri, tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun, menolak pemberian bantuan secara cuma-cuma dari Penasihat Hukum”.

Keberadaan Advokat adalah Bagian dari Imunitas Rakyat

Advokat membela kepentingan dan hak-hak Terdakwa, dengan memberikan petunjuk-petunjuk dan mencari jalan keluar dari rangkaian dakwaan dan tuduhan Jaksa berdasarkan hukum dan regulasi yang berlaku, menyampaikan hal-hal yang mungkin belum terungkap sebagai fakta hukum persidangan yang lengkap, serta memberikan data dan bahan informasi agar Hakim dapat memberikan pertimbangan dan putusan yang sesuai dengan keadilan masyarakat.

Proses pra-ajudikasi menawarkan agar seseorang didampingi pengacara namun kadang menolak adalah karena tidak yakin bahwa pengacara akan membela secara serius apabila tidak membayar, dan kadang atau bahkan seringkali tidak tersampaikan bahwa bantuan hukum bisa cuma-cuma.

Tersangka tidak bisa menolak advokat yang ditunjuk untuk membelanya, karena advokat memiliki hak imunitas dan kewajiban untuk memberikan bantuan hukum. Proses peradilan terhadap ancaman pidana yang tergolong berat harus memiliki standar yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses peradilan tindak pidana ringan.

Hak untuk mendapat bantuan hukum merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Konsep pemikiran aparat penegak hukum bahwa pemberian bantuan hukum hanya sebagai pelengkap administrasi peradilan semata, sangat tidak mencerminkan prinsip Miranda Rule.

Penolakan dari tersangka/terdakwa yang sangat bisa jadi bukan karena kehendak pribadi, meskipun ada surat penolakan yang tidak bisa dinilai mewakili kehendak juga merupakan tindakan yang melanggar imunitas Advokat.

Penolakan hanya dilakukan terhadap pembiayaan atas Advokat, sehingga kewajiban Negara untuk membiayainya, yang merupakan original intent dari probono publico atas sebagian atau seluruh biaya.

Penolakan terhadap lembaga penasehat hukum/Advokat hanya bisa dilakukan sebagai bagian dari pengakuan atas perbuatan yang dituduhkan, dan berita acara yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah berita acara pengakuan.

*Adv. Agung Pramono, SH, CIL

 

 

 

 

 

 

Upaya Hukum PRAPERADILAN atas penetapan sebagai TERSANGKA!!

 

Awi seorang pengusaha penyewaan kapal tongkang mengadakan perjanjian sewa menyewa kepada Tony dengan nilai Rp. 1,1 milyar perbulan. Tony membayar uang sewa sebesar Rp.100 juta dan ingin mempergunakan kapal tongkang milik Awi, namun tidak diperbolehkan karena belum membayar sewa secara penuh sesuai perjanjian.

Tony melaporkan Awi ke Kepolisian, dan Awi pun ditetapkan sebagai Tersangka penipuan karena tidak menyerahkan kapal tongkang yang disewa oleh Tony.

 

Pertanyaan: upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh Awi atas Penetapan sebagai TERSANGKA

atas laporan Polisi dari Tony??

 

Jawaban:

Untuk membatalkan status TERSANGKA dapat diajukan upaya hukum Pra Peradilan.

Praperadilan merupakan salah satu lembaga dalam hukum pidana Indonesia, secara formil diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Dalam praktik digunakan oleh pihak-pihak/institusi yang mengajukan upaya atas ketidakpuasan penerapan hukum atau tindakan/keputusan aparat hukum yang dianggap telah menciderai rasa keadilan dan kepentingan mereka. Berdasarkan ketentuan Pasal 78 Ayat (1) dan (2) KUHAP praperadilan merupakan wewenang pengadilan negeri dan praperadilan tersebut dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.

 

Adapun kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus perkara praperadilan dimaksud adalah sebagai berikut:

1.   sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

2.   ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan        atau penuntutan.

terhadap permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau tentang sah atau tidaknya penahanan hanya diajukan oleh Tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasanya sedangkan hak untuk mengajukan permintaan untuk dapat diperiksanya sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau sah atau tidaknya penghentian penuntutan adalah penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan dengan menyebutkan pula alasannya.

 

Selain dari pihak-pihak dan perihal yang menjadi dasar praperadilan diatas dapat pula diajukan ganti kerugian dan rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan hal dimaksud dapat diajukan oleh Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasanya. Ketentuan mengenai ganti kerugian dan rehabilitasi lebih lanjut diatur dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.

 

Atas putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud Pasal 79, dan Pasal 81 KUHAP tidak dapat dimintakan banding, terkecuali putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau tidak sahnya penghentian penuntutan. Putusan banding terhadap pemeriksaan keberatan atas putusan praperadilan pada tingkat pertama yang diajukan  Penyidik atau Penuntut umum atau Tersangka, keluarga termasuk kuasanya merupakan putusan akhir (pihak-pihak dimaksud dalam uraian di atas yang dapat mengajukan banding tidak secara eksplisit disebutkan dalam ketentuan KUHAP.

Namun demikian, dapat disimpulkan melalui suatu analisa bahwasanya kepentingan siapa yang terganggu atas putusan praperadilan tersebut atau dapat pula diserap suatu ketentuan dari pasal-pasal sebelumnya dalam undang-undang ini).

 

Untuk mengajukan upaya hukum Praperadilan Pidana, silahkan menghubungi Tim Lawyer kami, Tim FLP Lawyers akan dengan senang hati mendampingi Anda.