FLP LAWYERS
FLP LAWYERS
Constitutional Aspect Kewenangan Penjaminan Oleh Advokat, Catatan Penasehat Hukum dan Keterangan Ahli (Bag 1)

Hal paling menarik dari hukum visavis tata-negara adalah soal constitutional aspect, rasanya ini yang paling mengena dan fokus, dalam konteks republikan. Menurut penulis, secara politik-hukum kita harus mengkaitkan dengan alas demokrasi, sebab ini soal antara mayoritas dan hak minoritas.

Hak menentukan nasib sendiri memberi penekanan pondasi utama kebernegaraan, yaitu aspek konstitutif (constitutive aspect), bahwa semua tata aturan yang ada di dalam pemerintahan harus merupakan hasil dari proses-proses yang dilandasi kehendak rakyat atau masyarakat (the will of the people or peoples) yang diatur olehnya.

Terdapat sebuah teori dimana suatu aturan akan dikatakan sebagai suatu hukum bilamana aturan tersebut telah ditetapkan, sehingga sebelum adanya penetapan, maka aturan tersebut belum dianggap sebagai hukum dan belum pernah ada atau lahir sebelumnya.

Padahal, teori tersebut hanya berkaitan dengan Asas legalitas dari Johan Anselm von Feuerbach (Lehrbuch des peinlichen recht: 1801) melalui adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali.

Menurut Machteld Boot dengan mengutip pendapat Jescheck dan Weigend, pada intinya hanya berkaitan dengan ada tidaknya unsur atau perbuatan pidana, sama sekali tidak berkaitan dengan hukum acara peradilan.

Namun, hal tersebut menjadi kerangka berpikir untuk hukum acara yang selalu ditekankan oleh APH untuk merelatifisir kehadiran, peran dan fungsi dari Advokat dalam sistem peradilan pidana terpadu. Impunitas, overspanning, mengamputasi kewenangan institusi lain dan sistem berjalan berdasarkan tafsir institusional.

Advokat sangat paham bahwa setiap perkara selalu didasarkan pada catatan dan dokumen sebagai bagian administratif yang harus dipenuhi, yang apabila tidak maka secara hukum dianggap tidak sah.

Di sisi lain, Advokat juga paham bahwa ketika keabsahan dipermasalahkan melalui prosedur pra-peradilan (misalnya) yang berdasarkan UU maka hal tersebut selalu dianggap sebagai langkah perlawanan, dimana setelah putusan pra-peradilan dan orang dikalahkan maka segera dilakukan penahanan atasnya.

Padahal, sangat mungkin bahwa banyak sekali perkara yang menjadi proyek transaksional, mulai dari yang ringan hingga yang terberat sekalipun. Ironis sekali jika dikatakan bahwa hukum acara secara argumentatif disebut tergantung pada politik hukum aktual.

Artinya, jika politik hukum pada suatu penguasa sudah tidak digunakan lagi dalam kekuasaan yang lain atau berikutnya, maka demikian juga dengan penegakan hukumnya yang akan berubah makna dan tafsiran, yang notabenenya selalu didasarkan pada ego sektoral.

Sangat tampak dalam beberapa tahun belakangan ini bagaimana pengguna politik hukum sebelumnya kemudian akan menjadi korban pada politik hukum baru yang disepakati untuk dijalankan, sungguh materi kejahatan penguasa yang disajikan secara terbuka oleh warga negaranya, bahkan dunia.

Pada zaman Romawi dahulu dikenal adanya crimine extra ordinaria yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang. Di antaranya adalah crimen stellionatus yang secara letterlijk artinya perbuatan jahat atau durjana. Ketika hukum Romawi kuno diterima di Eropa Barat pada abad pertengahan, crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang berkuasa dan cenderung menggunakan hukum pidana itu sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhan raja. (Moeljatno, 2015: 26)

Aturan yang memberikan kewenangan itulah yang memberikan celah absolutisme untuk berlaku sebagai sebagai the only game in town, bukan UU-nya yang menekan melainkan kewenangan politik hukum itu yang opresif, menjadi all embrace act atau alll purpose law terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah pidana, mencakup semua makna kepentingan negara, padahal hanya dalam batasan pemerintah.

Berkaitan dengan hal itu, mengutip uraian Prof. Gayus Lumbuun tentang Bangalore Principles tahun 2001 yang menurut penulis sebenarnya masih menjadi kelemahan karena hanya menekankan pada aspek internal saja sebagai prinsip etika peradilan sebagaimana dikatakan oleh Dr. Hatta Ali.

Penulis lebih cenderung pada Siracuse Principles tahun 1981 yang mana secara eksplisit menyebut suatu peradilan “independen dari pengaruh eksekutif dan legislatif” yang mempunyai yurisdiksi terhadap semua hal yang berkaitan dengan hal-hal di bidang peradilan.

Perubahan Paradigma

Merujuk pada penghormatan yang tinggi terhadap hak asasi dengan “due process of law” ternyata rumusan KUHAP masih saja sarat dengan muatan “crime control model/system” yang pasti tetap membuka institusional secara sektoral atau bahkan tidak perlu lagi merubah aturan institusinya sebab sudah diakomodasi oleh RKUHAP ini, alih-alih menyempurnakan rumusan sesuai kebutuhan masyarakat malah fokus kepada authority (kewenangan) dan kekuatan penyelidik, penyidik serta penuntutan.

Padahal, tujuan sudah berubah dari crime control model/system dengan prinsip pressumption of guilt kepada pressumption of innocence.

Sebagaimana sempat dirumuskan pada Pasal 86 ayat (1), Dalam melakukan penetapan Tersangka, Penyidik dilarang melakukan perbuatan yang menimbulkan praduga bersalah dengan cara mengumumkan penetapan Tersangka kepada publik dan/atau mengenakan atribut tertentu kepada Tersangka yang menunjukkan Tersangka bersalah (Jika belum berubah) – sejak penyidikan.

Pengakuan terhadap “peran” Advokat (mungkin) sudah dan bisa dirumuskan, akan tetapi “fungsinya” seolah dirumuskan dengan tidak menjaga “kesetaraan”, sehingga sangat dikenali bakal terjadi “subordinasi”, hanya dipandang sebelah mata dan sekedar pelengkap seperti sejarah pokrol sebagai pemenuhan formalistik hukum acara.

Di lapangan, kita sangat paham mengenai kapan sebenarnya orang berhadapan dengan hukum pidana membutuhkan peran PH, jasa atau banyuan hukum.

Kita hanya perlu menjawab pertanyaan yang selalu ada di lapangan, yaitu:

  1. Kapan seseorang berstatus sebagai tersangka? Yaitu, sejak adanya pelaporan yang menunjuk seseorang atau beberapa orang sebagai terduga
  2. Kapan orang sudah mendapat vonis? Adalah ketika ditetapkan sebagai tersangka bahkan ditahan
  3. Kapan orang harus mendapat bantuan hukum untuk membela dan mempertahankan hak-haknya sebagai subjek hukum pidana? Mestinya, sejak dilaporkan/diadukan.

Kebutuhan atas jasa atau bantuan hukum tidak bisa dipandang hanya dari kewenangan Advokat, tapi secara konstitusional adalah pada kebutuhan hak asasi seseorang dimana negara wajib mememenuhinya, tidak bisa dihilangkan meski memang perlu pembatasan.

Standar adanya pendampingan penasihat hukum yang bersifat wajib tanpa pengecualian untuk setiap tahap pemeriksaan harus ada, sejak klarifikasi, penyelidikan, penyidikan dan persidangan, sebagai pengimbang dan pembanding kebenaran materiil, meskipun ada surat penolakan namun tidak bisa dinilai mewakili kehendak orang yang berhadapan dengan hukum pidana.

Penolakan hendaknya hanya dilakukan terhadap pembiayaan atas Advokat, sehingga kewajiban Negara untuk membiayainya baik sebagian atau seluruh biaya.

Perlu dipahami soal distribusi dan pembagian kewenangan yang sejatinya memang di desain untuk mengendalikan dan membatasi praktek absolutisme. Syarat dari sentralisasi dalam prakteknya harus melalui transfer kekuasaan kepada siapa yang disepakati untuk berdaulat, maka harus ada kompromi yang melibatkan setiap elemen yang ada dalam sistem hukum pidana.

Tantangan selanjutnya adalah dalam pembentukan UU-nya butuh meaningful participation dari masyarakat, sebab resultan politik berkaitan harus melibatkan elemen publik, bukan sekedar political will dari kontrak politik tapi kontrak sosial.

Pengendalian perkara harus tetap ada di ranah petugas pengadilan dalam sistem hukum pidana, instrumen kelembagaan pengendalian perkara sudah diatur dalam KUHAP baik melalui koordinasi, pengawasan, praperadilan dan diferensiasi fungsional, pengaturan tersebut supaya tidak terjadi “kekuasaan satu tangan”.

Mungkin, banyak yang berpendapat bahwa seseorang itu belum dinyatakan sebagai tersangka, akan tetapi hak untuk memahami hukum dan peristiwa yang berkaitan dengan dugaan tindak pidana itu harus diberikan sejak sebagai terduga.

Sehingga, proses gelar perkara awal ketika suatu peristiwa itu memenuhi unsur tindak pidana orang tersebut sudah berada dalam situasi terlindungi secara hukum atas hak-haknya, bahkan secara bebas pun seseorang itu kapanpun saatnya sudah memegang hak untuk didampingi.

Secara singkat dalam implementasinya, untuk membangun benteng tahap pra-ajudikasi dan ajudikasi, pertama, pada penyelidikan sebelum gelar perkara I, dan kedua, tahap pertimbangan sebelum putusan pengadilan.

Dalam hal dilakukannya penjaminan oleh Advokat, tidak diperlukan adanya surat-surat permohonan kecuali pernyataan secara lisan.

Penjaminan terhadap klien yang dilakukan oleh Advokat sudah sangat dikenal dalam hukum, seperti misalnya jaminan uang (money bond), kepastian (surety bond), kehadiran (appearance bonds), dan moral (moral bonds).

Ditulis oleh Adv. Agung Pramono

Konferdalub DPD Kongres Advokat Indonesia DKI Jakarta

Kongres Advokat Indonesia dikenal dengan sebutan ADVOKAI merupakan organisasi Advokat besar yang diperhitungkan dalam dunia hukum di Indonesia.

Dalam rangka menjalankan amanah konstitusi dan AD/ART, Presidium Sementara DPD Kongres Advokat Indonesia DKI Jakarta di bawah pimpinan Presidium sementara Adv. Fredy Limantara, SE.,SH.,MH.,CLA menggelar Konferensi Daerah Luar Biasa di Hotel Grand Mercure Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis 26 Juni 2025.

Acara tersebut dihadiri langsung Honorary Chairman Adv. Dr. Tjoe Tjoe Sanjaya Hernanto, SH.,MH.,CLA.,CIL.,CLI.,CRA  bersama dengan Ketua Presidium DPP KAI Adv. Dr. KP. H. Heru S. Notonegoro, SH., MH., CIL., CRA, didampingi Sekretaris umum DPP KAI Adv. Dr (Can) Ibrahim, SH.,MH.,CLA.,CIL.,KI (K) dan Bendahara umum DPP KAI Adv. Yaquitina Kusumawardhani, SH.,MH.,CIL, Direktur Penelitian Adv. Agung Pramono, SH.,CIL serta Direktur Pengembangan Business Adv. Lucky V. Kamba.,S.Sos.,SH.,CRA.

Turut hadir dalam Konferdalub tersebut perwakilan dari tamu VIP diantaranya perwakilan Kapolda Metro Jaya, AKBP Iverson Manossoh, SH dan Perwakilan dari Panglima Kodam Jaya, Letkol. CHK Heri Rohansyah, SH.,MH dan tamu penting lainnya serta advokat-advokat KAI se-DKI Jakarta.

Dalam sambutannya, Presidium Sementara DPD KAI DKI Jakarta menyampaikan bahwa Advokat KAI di wilayah hukum DKI Jakarta beranggotakan lebih dari 1.000 (seribu) anggota yang tersebar di lima wilayah DPC DKI Jakarta.

Konferensi Daerah Luar Biasa ini dilaksanakan untuk mengisi kekosongan pimpinan tingkat DPD DKI Jakarta, dikarenakan Ketua sebelumnya, DR. Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga, SH.,MH.,CLI telah mendapat mandat dan tugas di DPR RI sebagai wakil rakyat.

Fredy menyebutkan forum Konferdalub memiliki legitimasi sebagai forum tertinggi di tingkat daerah untuk mengambil keputusan strategis demi kemajuan organisasi. Ia mengapresiasi keterlibatan seluruh unsur dalam menyukseskan agenda penting ini.

Fredy menyampaikan harapan besar agar seluruh anggota KAI di Jakarta bersatu dan bekerja dalam semangat kolaborasi. Ia meyakini dengan tekad bersama dan kerja keras, KAI Jakarta bisa melangkah lebih maju dan menjadi teladan bagi DPD-DPD lainnya.

“Kami percaya dengan semangat kolaborasi, komitmen kuat, dan pantang menyerah akan membawa DPD KAI DKI Jakarta kembali menjadi kekuatan penting dalam gerakan advokat nasional,” lanjutnya

Selanjutnya dalam sambutannya, Ketua Presidium DPP Kongres Advokat Indonesia Adv. Dr. KP. H. Heru S. Notonegoro, SH., MH., CIL., CRA, menyampaikan apresiasi dan harapan besar untuk hasil-hasil Konferdalub DPD KAI DKI Jakarta. Ia menilai kegiatan tersebut sebagai momentum bersejarah bagi konsolidasi organisasi advokat di Jakarta.

DPD KAI DKI Jakarta, menurut Heru, merupakan etalase penting bagi eksistensi organisasi advokat di Indonesia. Menurutnya, DKI Jakarta memiliki potensi besar karena anggotanya merupakan yang terbanyak di seluruh Indonesia

Sejarah mencatat bahwa hanya Kongres Advokat Indonesia (ADVOKAI) satu-satunya Organisasi Advokat yang pernah menangani pengaduan dari 9 (sembilan) Hakim Mahkamah Konstitusi adalah KAI. Ini bukti kepercayaan dan kredibilitas kita, ujarnya.

Adapun Sidang Konferdalub dipimpin oleh Adv. Sutisna, AMD,G.,SH, bersama dengan Adv. Agus Susanto, SH, Adv. Oscar Vitriano, SE.,SH.,MPP.,MH, Adv. Rudi, SH dan Adv. I Made Suweta, SH.,CPM.,CPCLE.

Suasana sidang berjalan dengan sangat kondusif, walaupun ada sedikit perbedaan pendapat dan perdebatan, namun dengan musyawarah mufakat, dapat dicapai kesepakatan.

Laporan pertanggungjawaban DPD KAI DKI Jakarta telah dibacakan oleh Adv. Anggreini Mutiasari, SE.,SH.,MH dan dinyatakan dapat diterima oleh peserta sidang.

Ada yang berbeda dengan Konferdalub pada proses pemilihan Ketua, dengan berubahnya nomenklatur, maka Kongres Advokat Indonesia (ADVOKAI) mengadopsi sistem Presidium.

Hasil pemilihan telah disepakati sebanyak 5 pimpinan Presidium Definitif dengan masa kerja 2025 s/d 2030, adapun nama nama Presidium terpilih sebagai berikut:

  1. Fredy Limantara, SE.,SH.,MH.,CLA

  2. Muslim Sumardiono, SH.,MAP

  3. Dr. Tomi Risman Effendi, Sh.,MH

  4. M. Anwar Sadat, SH.,MH

  5. Anggreini Mutiasari, SE.,SH.,MH.,CPMP

Penyelenggaraan Konferdalub DPD DKI Jakarta 2025 berjalan dengan kondusif dan penuh rasa kekeluargaan bahkan lebih nampak seperti acara temu kangen, seluruh peserta berdedikasi dan memiliki moral dan integritas tinggi terhadap organisasi yang mereka banggakan.

Di sisi lain, Polda Metro Jaya turut menyampaikan dukungan dan apresiasi terhadap peran serta semangat baru KAI, khususnya di Jakarta.

Kasubbid Bantuan Hukum Polda Metro Jaya, AKBP Iver Son Manossoh menilai, bahwa KAI adalah bagian penting dari ekosistem hukum nasional, yang memiliki peran besar dalam membantu masyarakat, terutama warga kurang mampu di Jakarta.

“Kami mendengar pidato pimpinan DPP KAI, dan terlihat jelas harapan publik begitu besar kepada KAI dalam memberikan layanan hukum bagi masyarakat kecil. Saya sangat terharu dengan program-programnya”, ujar Iver.

Ia menambahkan kehadiran KAI perlu memberikan manfaat nyata di masyarakat, sesuai fungsi hukum untuk menghadirkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Ia pun mendorong seluruh aparat penegak hukum agar peduli terhadap warga yang membutuhkan bantuan hukum tetapi tidak memiliki kemampuan finansial.

“Kami berharap semua penegak hukum hadir untuk masyarakat kecil, termasuk mereka yang tidak mampu membayar pendampingan hukum”, ucapnya.

AKBP Iver juga menyebutkan kerja sama antara KAI dan kepolisian telah lama berjalan baik, baik di Mabes Polri maupun Polda Metro Jaya. Bahkan komunikasi dan rencana pelatihan advokasi terus berlanjut.

“Saat ini masih ada komunikasi di Mabes Polri, dan pada Juli mendatang rencananya akan diadakan pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) internal”, jelasnya.

Wakil Kepala Hukum Kodam Jaya/Jayakarta, Letkol Chk Heri Rohanzah, juga menyampaikan harapan agar kepengurusan baru KAI Jakarta tetap menjunjung tinggi nilai dasar hukum dan etika profesi.

“Semoga pimpinan terpilih membawa keberkahan dan selalu mengutamakan kejujuran, karena kejujuran adalah kunci mewujudkan kepastian hukum yang adil dan bermanfaat bagi semua”, ungkap Letkol Heri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KAI BANGKIT !!

ADVOKAT KAI … CERDAS CADAS BERKELAS !!!

 

Artikel ini ditulis oleh Presidium Definitif, Adv. Fredy Limantara, SE.,SH.,MH.,CLA

 

Penolakan Atas Advokat Adalah Penyimpangan HAM

Masih banyak rumusan dalam Rancangan Hukum Acara Pidana tanggal 17 Februari 2025 yang mereduksi kehadiran Advokat, perhatian penulis tertuju pada Pasal 146 ayat (4) yang berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku  jika Tersangka atau Terdakwa menyatakan menolak untuk didampingi Advokat yang dibuktikan dengan berita acara.”

Ketentuan Pasal 28 H ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, dijabarkan pula dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 54, 55 dan 56 KUHAP bahwa pemberian bantuan hukum tersebut dimulai dari tingkatan pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan sampai dengan pemeriksaan di pengadilan.

Selanjutnya, Pasal 114 KUHAP menyatakan dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasehat hukum.

Pijakan dalam hukum acara pidana adalah prinsip peradilan yang adil (fair trial), hukum acara pidana harus dibentuk agar para unsur penegak hukum yang terkait di dalamnya jangan sampai melakukan paksaan kekuasaan (abuse of power).

Tugas dan tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan terhadap warganya merupakan alas perjanjian sebagaimana dikemukakan John Locke dan Thomas Hobbes dalam du Contract social dan factum subjectionis. [Theo Huijbers. 1988, Fisafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Kanisius, Yogyakarta. hal 82 88]

Disisi lain, dalam hal terdakwa menolak didampingi oleh penasehat hukum maka hal tersebut harus dimuat di dalam berita acara persidangan untuk menghindari dibatalkannya putusan.

International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) sudah ada 15 tahun sebelum lahirnya KUHAP yang memberikan pandangan atas beberapa substansi yang sangat urgent sampai saat ini telah mempengaruhi pula penafsiran dalam penarapan Hukum Acara Pidana.

Lembaga Penasehat Hukum

Peran seorang Advokat/Penasihat Hukum sudah secara jelas dimuat dalam ketentuan UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang antara lain dalam pasal 56 ayat (1) menyatakan bahwa, “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.”

Dan, UU Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Pasal 68B ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.”

Maka, lembaga Penasihat Hukum yang secara khusus pengadaannya menjadi syarat saat sedang dilakukan pemeriksaan sebagai implementasi dari asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Artinya, urgensi Advokat/Penasihat sudah lahir sejak seseorang diduga sebagai pelaku tindak pidana, sebagaimana isi Pasal 114 KUHAP sebelumnya.

Hak sebagaimana dalam rumusan dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP mutlak wajib diberikan oleh negara, karena tersangka membutuhkan diberikannya hak tersebut sebagai konsekuensi logis atas kebebasan yang dirampas oleh negara, sementara kesalahannya belum dibuktikan.

Menurut penulis, fungsi paling dasar dari lembaga penasehat hukum antara lain sebagai pengembanan hukum (rechtsbeoefening), authorized adjudicator penterjemah konstruksi fakta kedalam bahasa hukum, merujuk pada kewenangan memaksakan hukum (wetshandhaver) dan membantu hakim mencari kebenaran (waarheid).

Mr. Soemarno P. Wiryanto memberikan pendapatnya mengenai rasio atas rahasia pekerjaan Advokat, bahwa “hubungan advokat/pengacara dengan klien bersama halnya hubungan pasien dengan dokter dan hubungan orang dengan pastor, domine dan sebagainya ialah hubungan kepercayaan mutlak. Advokat/pengacara tak dapat membela baik, kalau ia tidak mengetahui rahasia-rahasia mengetahui semua rahasia-rahasia kliennya sampai seakan-akan tak ada hubungan dengan perkara yang diserahkan.”

Hubungan kepercayaan adalah “the lawyer as a fiduciary” (pengacara sebagai orang terpercaya) dan adanya “the duty of fidelity”  (amanah) advokat terhadap kliennya.

Sifat “clientenverhouding” ini menimbulkan konsekuensi bahwa Advokat dibebani kewajiban merahasiakan segala apa yang diterima dari klien sekaligus hak atas perlindungan hukum, maka dirumuskan dalam Kode Etik Advokat Pasal 19 ayat (2) yang melindungi hak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumen dari penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi.

Namun, prinseip tersebut bukan tidak tak terbatas sebab sistem peradilan pidana “adversary” di Indonesia tidak semata-mata berlaku “accusatorial” (berpihak kepada klien), tetapi juga berlaku sistem “inquisitorial” (berpihak pada keadilan), dan ini yang membutuhkan integritas profesional dari Advokat.

Urgensi perumusan tugas dan kewenangan Advokat selaku Penasehat Hukum dalam KUHAP menjadi linear ketika dipahami bahwa Advokat merupakan hal yang inheren dan visavis dengan fungsi Kepolisian dan Kejaksaan.

Seringkali penafsiran atas hak masyarakat dan Advokat itu diterjemahkan secara sepihak oleh APH sebatas pola pikirnya saja, by institution dan bukannya by system sehingga ironisnya masyarakat awam lebih takut dengan seragam ketimbang taat dengan hukum.

Advokat Bukan Hambatan

Penasehat hukum selaku pembela masyarakat (public defender) haruslah aktif, sehingga keputusan hakim tidak hanya berasal pada tuntutan Jaksa penuntut umum akan tetapi untuk mencapai tujuan hukum acara pidana yaitu kebenaran yang nyata, perbuatan yang benar-benar dilakukan oleh terdakwa, atau hubungan erat yang nyata antar pihak dalam perbuatan pidana tersebut.

Pledooi pada dasarnya juga merupakan tuntutan yang diajukan dalam proses peradilan yang sah, tidak boleh dihalang-halangi, kekuasaan negara yang lahir dari hak kemanusiaan, sebagai fungsionaris dari kekuasaan kehakiman.

Ketika Jaksa menuntut seseorang atau sekelompok orang untuk dihukum karena dianggap merugikan orang lain ataupun pemerintah dalam kaitannya dengan tugas negara, maka Advokat menuntut negara/pemerintah ketika merugikan terdakwa sehingga harus dilepaskan atau dibebaskan.

Demikian juga dengan pengumpulan data Advokat setara dengan penyelidikan dan penyidikan, harus dihormati. Artinya, Advokat adalah lembaga penasehat yang setara namun dengan sudut pandang yang berbeda.

Tidak jelasnya sanksi terhadap pejabat yang berwenang atas tidak dilaksanakannya kewajiban Pasal 56 ayat (1) KUHAP menjadikan kata “wajib” sebagai rumusan yang kehilangan sifat imperatifnya. Padahal, implikasi hukumnya adalah Berita Acara Pemeriksaan, penggeledahan, surat dakwaan hingga tuntutan tidak sah dan cacat hukum, bahkan apabila Hakim tidak menjalankan kewajibannya untuk menunjuk penasehat hukum bagi terdakwa sebagaimana dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP maka bisa berakibat dapat dibatalkannya putusan.

Implisit, hal tersebut juga termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2012.

Penolakan Atas Advokat

Norma hukum pasti menimbulkan hak bagi tersangka atau terdakwa dan sekaligus menimbulkan kewajiban bagi penyidik, penolakan atas lembaga penasehat hukum tidak serta merta menggugurkan hak dan/atau kewajiban negara melindungi hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights).

Fenomena Surat Pernyataan Penolakan Didampingi Penasihat Hukum (SP2DPH)  menunjukkan bahwa negara gagal menjamin bahwa hak yang diberikan itu benar-benar dilaksanakan dan sampai kepada subjek yang dituju yaitu tersangka atau terdakwa.

Melalui KUHAP negara menetapkan bahwa hak yang diatur di dalam Pasal 56 ayat (1) bersifat mutlak, dan oleh karenanya wajib diselenggarakan atas biaya negara kepada setiap tersangka atau terdakwa tanpa melihat ancaman hukumannya.

Ini merupakan konsekuensi logis dari perampasan kemerdekaan tersangka atas dugaan tindak pidana, sementara kesalahannya masih harus dibuktikan. Sebab satu haripun berada di dalam tahanan, tersangka bisa saja mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, bahkan kematian.

Seringkali penulis berpikir bahwa “kewajiban menunjuk penasihat hukum” dianggap sebagai hambatan, sebab terdapat kecenderungan APH untuk menggantikan tujuan formal yang ditentukan oleh Pasal 56 ayat (1) KUHAP dengan kebijakan dan tindakan-tindakan yang menghasilkan keuntungan maksimal dan mengurangi hambatan minimal bagi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

SP2DPH kadang dilakukan oleh APH untuk menghilangkan hambatan terhadap rutinitas pekerjaan, demi kelancaran rutinitas dan efisiensi kerja APH maka kepentingan tersangka atau terdakwa dan/atau penasihat hukum dikesampingkan, ini merupakan fenomena yang dijelaskan oleh Chamblis dan Seidman. [Chamblis & Seidman (1971: 265) dalam Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta, Genta Publishing, 2009, hlm. 50]

Seperti kebijakan bagi tersangka atau terdakwa untuk membuat SP2DPH melalui Surat Edaran Kejaksaan Agung RI NO. B570/F/Fpk.1/9/1994, yang pada intinya berisi “secara sadar dan atas kemauan sendiri, tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun, menolak pemberian bantuan secara cuma-cuma dari Penasihat Hukum”.

Keberadaan Advokat adalah Bagian dari Imunitas Rakyat

Advokat membela kepentingan dan hak-hak Terdakwa, dengan memberikan petunjuk-petunjuk dan mencari jalan keluar dari rangkaian dakwaan dan tuduhan Jaksa berdasarkan hukum dan regulasi yang berlaku, menyampaikan hal-hal yang mungkin belum terungkap sebagai fakta hukum persidangan yang lengkap, serta memberikan data dan bahan informasi agar Hakim dapat memberikan pertimbangan dan putusan yang sesuai dengan keadilan masyarakat.

Proses pra-ajudikasi menawarkan agar seseorang didampingi pengacara namun kadang menolak adalah karena tidak yakin bahwa pengacara akan membela secara serius apabila tidak membayar, dan kadang atau bahkan seringkali tidak tersampaikan bahwa bantuan hukum bisa cuma-cuma.

Tersangka tidak bisa menolak advokat yang ditunjuk untuk membelanya, karena advokat memiliki hak imunitas dan kewajiban untuk memberikan bantuan hukum. Proses peradilan terhadap ancaman pidana yang tergolong berat harus memiliki standar yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses peradilan tindak pidana ringan.

Hak untuk mendapat bantuan hukum merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Konsep pemikiran aparat penegak hukum bahwa pemberian bantuan hukum hanya sebagai pelengkap administrasi peradilan semata, sangat tidak mencerminkan prinsip Miranda Rule.

Penolakan dari tersangka/terdakwa yang sangat bisa jadi bukan karena kehendak pribadi, meskipun ada surat penolakan yang tidak bisa dinilai mewakili kehendak juga merupakan tindakan yang melanggar imunitas Advokat.

Penolakan hanya dilakukan terhadap pembiayaan atas Advokat, sehingga kewajiban Negara untuk membiayainya, yang merupakan original intent dari probono publico atas sebagian atau seluruh biaya.

Penolakan terhadap lembaga penasehat hukum/Advokat hanya bisa dilakukan sebagai bagian dari pengakuan atas perbuatan yang dituduhkan, dan berita acara yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah berita acara pengakuan.

*Adv. Agung Pramono, SH, CIL

 

 

 

 

 

 

Tjoetjoe S Hernanto: Advokat Tak Bisa Dipecat Sembarangan, Harus Lewat Sidang Etik

Tjoetjoe menanggapi aksi advokat Firdaus Oiwobo dan Razman Arif Nasution yang viral di media sosial ketika sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara beberapa waktu lalu.

Pasca viral di berbagai media soal aksinya di pengadilan, Firdaus Oiwobo dipecat dari organisasi advokatnya, yakni Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang berujung pada pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS)-nya oleh Pengadilan Tinggi Banten serta Razman Arif Nasution oleh Pengadilan Tinggi Ambon.

Honorary Chairman Kongres Advokat Indonesia (KAI), Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, menegaskan bahwa pemecatan advokat oleh organisasi advokat, apapun organisasinya, harus dilakukan secara hati-hati melalui proses yang adil dan sesuai prosedur. Ia mengkritisi pemecatan advokat yang dilakukan tanpa sidang etik, yang menurutnya merupakan tindakan yang tidak adil.

Tjoetjoe menekankan bahwa dalam kasus dugaan terjadinya pelanggaran etik yang dilakukan oleh advokat di ruang sidang, pengadilan seharusnya mengajukan pengaduan kepada organisasi advokat terkait.

Organisasi advokat kemudian menindaklanjuti pengaduan tersebut dengan menyerahkan prosesnya melalui Dewan Kehormatan Daerah dengan membentuk Majelis Sidang Etik yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili pengaduan tersebut, serta memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada advokat yang bersangkutan untuk membela diri.

Lebih jauh, terhadap putusan Majelis Etik tersebut, kepada advokat teradu diberikan kesempatan untuk melakukan upaya banding bila putusannya dirasa tidak adil dan tidak sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan etik.

Adapun jika setelah proses banding advokat tetap dinyatakan bersalah dan diberhentikan dari profesinya, organisasi advokat tersebut akan mengirimkan surat kepada Mahkamah Agung (MA) untuk menonaktifkan akun advokat tersebut pada aplikasi ecourt MA.

“Seharusnya prosedur seperti itu diterapkan. Namun, dalam kenyataannya, proses ini tampaknya tidak diikuti secara benar. Bisa jadi, ada unsur subjektif dalam pengambilan keputusan. Banyak pelanggaran hukum lain yang tidak ditindak secara serupa,” ujarnya saat ditemui Hukumonline, Rabu (19/2).

Kemudian, ia menyoroti kasus Razman dan Firdaus Oiwobo yang dipecat tanpa melalui pemeriksaan etik yang seharusnya dilakukan oleh organisasi advokat. Menurutnya, organisasi advokat memiliki kewajiban untuk memeriksa anggotanya sebelum menjatuhkan sanksi, bukan hanya berdasarkan opini publik atau tekanan dari pihak luar. Jika tanpa melalui itu, seperti advokat yang tiba-tiba dipecat tanpa melalui proses sidang etik, ia berkata keputusan tersebut harusnya batal demi hukum.

“Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap dari profesi tanpa dilakukan pemeriksaan melalui sidang etik, itu adalah kejahatan terbesar dalam profesi ini.” ujarnya.

“BAS merupakan janji kita kepada Tuhan, yang kebetulan dicatat oleh pengadilan. Sama seperti seorang dokter yang mengucapkan sumpah sebelum menjalankan tugas profesinya, begitu pula dengan seorang notaris dan berbagai profesi lainnya. Jika terdapat pelanggaran etik, yang dicabut seharusnya bukan BAS-nya. Sebab BAS itu hanya mencatat suatu peristiwa. BAS itu melekat pada surat izin praktiknya,” tegas dia.

Ada pelajaran berharga yang patut dicontoh oleh Institusi Penegak Hukum lainnya, yaitu ketika 9 Hakim Mahkamah Konstitusi mengadukan Adv. Prof. Denny Indrayana kepada Kongres Advokat Indonesia (KAI) karena dugaan melakukan pelanggaran etik profesi advokat.

“Pencabutan BAS bukan langkah yang tepat. Jika seorang advokat diduga melanggar etik, seharusnya pengadilan mengajukan pengaduan kepada organisasi advokat agar diperiksa melalui sidang etik,” ucapnya.

Selain itu, Tjoetjoe juga menyoroti ketidakjelasan mengenai jangka waktu pembekuan BAS advokat. Menurutnya, pembekuan itu berbeda dengan pencabutan, yang mana kalau pembekuan harus ada batas waktunya.

“Ingat, memberhentikan advokat dari profesinya itu seperti orang dihukum mati. Bisa saja dari profesi ini seseorang menghidupi ibunya yang sudah renta, menghidupi anak dan istrinya, menyantuni anak-anak yatim dan lain sebagainya,” kata Tjoetjoe.

“Saya tidak membenarkan tindakan Firdaus, tetapi saya menentang cara-cara penanganannya yang tidak sesuai dengan prosedur. Tidak seharusnya seseorang dihakimi tanpa proses yang adil. Penegakan hukum harus berdasarkan prinsip due process of law,” tegas dia.

Hingga kini, kelanjutan proses hukum di kepolisian terhadap kasus ini masih belum diketahui. Meskipun sudah dilaporkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara, perkembangan lebih lanjut belum terlihat.

“Jika melihat kondisi penegakan hukum saat ini, terutama perlakukan terhadap profesi advokat, saya merasa hampir kehilangan harapan. Penegakan hukum etik di dunia advokat masih membutuhkan banyak perbaikan,” tambahnya.

Terkait perpindahan advokat antar organisasi, Tjoetjoe menjelaskan bahwa advokat yang dijatuhi sanksi oleh organisasi advokat tertentu, sepanjang belum dinyatakan inkracht atau berkekuatan hukum tetap, advokat tersebut dapat bergabung dengan organisasi advokat lainnya, sepanjang organisasi advokat yang baru, menerima.

“Kalau dijatuhi sanksi dengan cara yang tidak adil, dia boleh menolak. Dia bisa banding. Seperti yang terjadi pada beberapa advokat sebelumnya, mereka bisa pindah organisasi. Itu hak mereka,” jelas Tjoetjoe.

Dengan adanya kasus ini, Tjoetjoe mendorong agar rencana pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN) sebagai lembaga regulator tunggal (single regulator) organisasi advokat di Indonesia bisa segera diwujudkan.

“Ini bukan lagi perdebatan tentang single bar dan multi bar, karena keduanya terbukti memiliki kelebihan dan kekurangan. Kini, format baru yang diperlukan adalah regulator tunggal dengan organisasi advokat yang tetap hidup di bawahnya, mirip dengan sistem Komisi KPU yang mengawasi banyak partai politik,” ungkapnya.

Melalui kasus Razman, Firdaus, dan Hotman Paris, Tjoetjoe berharap pemerintah benar-benar menjadikan ini sebagai momentum untuk membenahi dunia advokat. Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran diharapkan mulai memikirkan langkah konkret untuk menyelesaikan permasalahan dalam dunia advokat.

Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas

Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas

Ketua Presidium DPP KAI Adv. Dr. KP. H. Heru S. Notonegoro, SH., MH., CIL., CRA meminta dukungan dari seluruh pengurus yang dilantik untuk sama-sama mengabdi di KAI dengan penuh loyalitas dan keikhlasan sehingga dapat menunjukkan bahwa advokat-advokat di KAI adalah advokat yang cadas, cerdas, dan berkelas sesuai dengan tema yang diusung saat Kongres IV KAI di Solo beberapa waktu lalu.

“Kepada rekan-rekan Presidium, para Direktur dan seluruh pengurus yang baru saja dikukuhkan, mari sama-sama kita tunjukkan bahwa kita adalah orang-orang yang memiliki kapasitas, kapabilitas dan berintegritas, yang mampu menyajikan program-program berkualitas demi mewujudkan advokat KAI yang cadas, cerdas, berkelas,” tutur Heru saat memberikan arahan di acara Pelantikan dan Pengukuhan Pengurus DPP Kongres Advokat Indonesia periode 2024-2029, Jum’at 27 September 2024 di Menara Sampoerna Jakarta.

Pada acara tersebut susunan lengkap personalia Pengurus DPP Kongres Advokat Indonesia periode 2024-2029 dibacakan oleh Presidium DPP KAI Adv. Prof. Denny Indrayana, SH., LLM., PhD.

Komponen Pengurus DPP KAI periode 2024-2029 yang dikukuhkan terdiri dari jajaran Presidium, Direktorat-direktorat, Kesekretariatan, Dewan Pembina, Dewan Penasihat, Dewan Kehormatan, Komisi Pengawas, hingga Honorary Chairman.

Selain itu, Heru juga memohon dukungan rekan-rekan pengurus KAI sehingga pengabdian dan kerja-kerja nirlaba yang akan dijalani kedepan, didasarkan pada loyalitas yang penuh ikhlas, penuh dedikasi, sehingga akan melahirkan prestasi yang bermanfaat bagi kejayaan Ibu pertiwi.

Pada kesempatan yang sama Ketua MPR RI sekaligus Ketua Dewan Pembina DPP KAI Dr. H. Bambang Soesatyo, SE., SH., MBA (Bamsoet) menambahkan bawah KAI punya pekerjaan rumah dalam penegakan hukum di tanah air. “PR kita bersama mewujudkan cita-cita pendiri bangsa untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan ketidak adilan,” tutur Bamsoet.

Honorary Chairman KAI Adv. Dr. H. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, SH., MH., CLA., CIL., CLI., CRA. turut mengucapkan selamat atas dikukuhkan kepengurusan KAI. “Selamat bertugas dan mengabdi untuk kita semua,” tuturnya.

Seperti diketahui, pasca Kongres IV KAI di Solo beberapa waktu lalu, organisasi advokat ini memilih menggunakan format kepemimpinan presidium yang bersifat kolektif kolegial dan telah terpilih sembilan anggota Presidium di sidang Kongres IV KAI. Opsi ini diambil agar organisasi dapat didorong secara bersama-sama untuk menjadi organisasi advokat yang maju dan berperan besar pada perkembangan profesi.

 

 

Perdana! Hukumonline, ASAHI dan JSLG Selenggarakan Sertifikasi Auditor Hukum

Perdana! Hukumonline, ASAHI dan JSLG Selenggarakan Sertifikasi Auditor Hukum

Kebutuhan auditor hukum semakin besar seiring munculnya Rancangan Peraturan Presiden tentang Kepatuhan Hukum yang mengatur keberadaan profesi auditor hukum. Pendidikan ini bermanfaat agar para auditor hukum dapat memenuhi standar kompetensi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Untuk pertama kalinya, Hukumonline bersama Asosiasi Auditor Hukum Indonesia (ASAHI) dan Jimly School Law and Government (JSLG) berkolaborasi menyelenggarakan pendidikan dan sertifikasi auditor hukum pada Senin-Jumat (9-13 September 2024) di Jakarta. Dalam kegiatan yang diikuti 35 peserta ini membahas topik penting berkaitan teknik audit investigasi.

Kemudian pula mengulas audit hukum pada perseroan terbatas dan sektor perbankan, serta audit hukum pada sektor penyelenggara negara dan harta kekayaan dan perbendaharaan negara. Termasuk soal keorganisasian ASAHI beserta kode etik dan pedoman perilaku auditor hukum, hingga standar kompetensi kerja auditor hukum.

Ketua Dewan Pembina ASAHI dan JSLG , Prof Jimly Asshiddiqie mengatakan, terdapat tantangan auditor hukum di tengah kompleksitas regulasi saat ini. Dia menjelaskan saat ini terdapat ribuan regulasi yang tersebar di berbagai lembaga baik tingkat pusat hingga daerah. Sayangnya, regulasi tersebut sulit diakses oleh publik sehingga auditor harus mampu mengaksesnya.

Selain itu, terdapat juga produk administrasi yang tersebar luas juga harus mampu diakses oleh auditor hukum. Jumlah produk administrasi ini lebih banyak dibanding produk regulasi. Menurutnya informasi tentang produk administrasi belum terpadu. Mulai dari Keputusan Presiden (Keppres) sampai keputusan lurah.

“Jaman dulu bayangkan ini gila, tapi sekarang bisa (dengan digitalisasi, red),” ujarnya saat memberikan keynote speech dalam acara pembukaan penyelenggaraan pendidikan dan sertifikasi auditor hukum di Jakarta, Senin (9/9/2024).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu berharap auditor hukum melalui pendidikan yang diselenggarakan ini memperoleh kompetensi sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Ia mengingatkan pekerjaan sebagai auditor dibutuhkan jasanya untuk membuat suatu keputusan.

“Auditing ini pekerjaan yang jasanya sangat dibutuhkan di masa kini dan masa depan,” imbuhnya.

Di tempat yang sama, Chief Media and Engagement Officer Hukumonline, Amrie Hakim menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya pendidikan dan sertifikasi auditor hukum perdana ini. Dia mengatakan ASAHI dan JSLG merupakan lembaga yang terpercaya dan memiliki komitmen mencetak praktisi hukum termasuk auditor yang kompeten dan profesional.

“Hukumonline mengucapkan terima kasih kepada Prof Jimly Asshiddiqie, Pak Harvardy dan rekan-rekan di ASAHI atas kolaborasi yang sangat baik ini. Seperti yang kita semua ketahui, ASAHI merupakan asosiasi yang sejak lama telah mengawal ketaatan dan kepatuhan hukum yang terus mencetak auditor hukum yang tersertifikasi,” jelas Amrie saat membuka acara tersebut.

Dia menjelaskan keberadaan auditor bersertifikat menjadi kebutuhan di tengah perkembangan bisnis dan regulasi yang kompleks saat ini. Auditor memiliki peran penting menjaga kepatuhan hukum untuk meminimalisir risiko hukum atas keputusan yang diambil para pemangku kepentingan bisnis.

Sayangnya dalam kondisi ini, acapkali pemangku kepentingan kurang memahami konsekuensi hukum dari langkah-langkah bisnis yang dilakukan. Untuk itu, dia menginginkan para lulusan pendidikan dan sertifikasi auditor hukum ini nantinya mampu membantu mengawal ketaatan dan kepatuhan hukum.

Dalam kesempatan tersebut, Presiden ASAHI Periode 2022-2027, Harvardy M Iqbal turut menyampaikan apresiasi kepada semua pihak termasuk peserta atas terselenggaranya kolaborasi perdana bersama Hukumonline. Dia menyampaikan terdapat antusiasme tinggi dari masyarakat yang ingin mengikuti pendidikan dan sertifikasi yang diakui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Harvardy melanjutkan, kebutuhan auditor hukum semakin besar seiring munculnya Rancangan Peraturan Presiden tentang Kepatuhan Hukum yang mengatur keberadaan profesi auditor hukum. Sehingga, pendidikan ini sangat bermanfaat agar para auditor hukum dapat memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan publik.

ASAHI sendiri merupakan asosiasi auditor hukum bersertifikat (Certified Legal Auditor) serta memiliki standarisasi kompetensi dan kode etik profesi. ASAHI telah berdiri sejak 2004 dan pada tahun 2014 mendapat sertifikasi Badan Nasional Sertifikat Profesi (BNSP) dari pendidikan yang diadakan oleh ASAHI untuk auditor hukum, sehingga profesi auditor hukum tersertifikasi oleh negara. Saat ini diketahui telah ada lebih dari tiga ribu anggota ASAHI yang tersebar di seluruh Indonesia.

 

Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!

Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!

 

 

Read More

The Chef is TSH

The Chef is TSH

 

Kongres Nasional IV Kongres Advokat Indonesia telah usai. Kongres yang dihelat di Auditorium UMS, Solo 7 – 8 Juni 2024 berakhir sangat sukses. Sembilan advokat senior menduduki jabatan Presidium KAI terpilih. Mereka adalah Dr. Umar Husin, S.H., M.Hum., Diyah Sasanti R, S.H., M.B.A., M.Kn., Prof. Denny Indrayana, S.H., L.L.M., Ph.D., Aldwin Rahardian, S.H., M.A.P., Pheo Marojahan Hutabarat, S.H. dan Heru S Notonegoro, S.H., M.H. Keenam advokat berasal dari unsur Dewan Pimpinan Pusat KAI. Sementara tiga advokat lainnya; H. Rukhi Santoso, S.H. M.B.A. berasal dari Kalimantan Timur, Dr. Rizal Haliman, S.H., M.H. dari Jawa Timur dan Israq Mahmud, S.H.I. dari Sulawesi Selatan. Ketiga advokat adalah ketua DPD provinsi masing-masing.

Sementara itu kongres memutuskan sang mantan presiden KAI, Dr. H. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, S.H., M.H., menduduki Honorary Chairman KAI. Posisi yang sebelumnya pernah diampu mendiang Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution. Nah, di sini letak mahirnya seorang TSH. Begitu biasa nama Tjoetjoe Sandjaja Hernanto disingkat. Kongres yang biasanya bergejolak, dapat ia olah sedemikian rupa bak seorang chef. TSH memahami bagaimana meramu banyaknya kepentingan agar terakomodir dan tersaji dengan baik. Selain gaya komunikasi TSH yang humble ke semua advokat KAI, hal yang sangat penting dalam rekam prestasi organisasi pada kepemimpinan TSH. KAI menjadi organisasi terbesar dan modern.

Pasca kongres, perpecahan organisasi acap kali menghantui setiap organiasi besar. Apalagi organisasi advokat. Dimana di dalamnya berkumpul para retoris-retoris handal. Tak hanya itu, kecenderungan (baca: birahi) memimpin menyelimuti kandidat hampir pada proses suksesi.

TSH mengatakan, yang membedakan penegak hukum lainnya dengan advokat yaitu penegak hukum lainnya selalu tunduk pada hirarki kuasa berbeda dengan advokat. Bagi advokat, kritik lebih dahulu daripada taat. TSH paham betul tentang itu.

Karenanya, TSH menggunakan resep silogisme dalam penyajian di hadapan peserta kongres. Dalam pendekatan ini TSH mencoba membagi atas dua premis kepemimpinan yaitu, “presidensial dan presidium”. Logikanya, untuk bisa merasakan sajian presidium adalah pilihan terbaik maka TSH menjabarkan bagaimana apabila memilih presidensial yaitu dengan ancaman perpecahan karena rekam jejak organisasi advokat demikian. Alih-alih membesarkan marwah profesi advokat, organisasi advokat akan disibukkan dengan urusan internal yang tak berkesudahan. Seperti saling gugat di pengadilan, berebut sekreriat dan logo dan sebagainya.

Selain membahas mengenai alasan “mengapa presidium”, TSH juga mengajak menanggapi mengenai beberapa isu yang sedang berkembang pada saat ini. Salah satunya adalah penegak hukum lainnya berlomba memperkuat lembaganya dengan penambahan kewenangan.

Organiasi advokat harusnya menemukan kembali kitisismenya dimana profesi advokat harus menyatakan diri senyata-nyata officium nobile.

Tentu saja, peserta kongres dapat menerima tawaran presidium sebagai jalan tengah. Peserta akhirnya mengubah AD/ART KAI. Hal ini tak lain dikarenakan seabrek rekam jejak TSH menjadikan organiasi advokat yang berkelas disamping beliau bersih dan memliki komitmen membesarkan profesi advokat. Maka sangat wajar TSH mendapatkan apresiasi dari seluruh advokat KAI.

Sepulangnya dari kongres, tak tampak lagi wajah kecewa peserta kongres akibat kekalahan. Tak ada lagi faksi menang atau atau kalah. Semua peserta kongres sangat puas dan gembira. Layaknya reuni antar advokat yang lama tak bertemu. Keakraban. Air wajah puas tanpa faksi. Ke depan KAI akan menyongsong babak baru system presidium. Lebih banyak mengakomodir ide dan gagasan, akan lebih terasa taste kemajuan profesi advokat. Inilah “hidangan” baru dari The Chef, Tjoetjoe Sandjaja Hernanto.

 

Oleh : Adv. Ebin Marwi, S.H.I., M.H.

Ditulis saat terbang di atas Super Jet.
Perjalanan pulang dari Solo – Balikpapan
9 Juni 2024

 

 

 

Pernah Ditempati Adnan Buyung Nasution, Honorary Chairman Kongres Advokat Indonesia Kini Diisi Tjoetjoe S Hernanto

 

Kongres Advokat Indonesia (KAI) memutuskan untuk mengaktifkan jabatan Honorary Chairman pada Kongres IV KAI 2024. Jabatan Honorary Chairman di KAI pernah diisi oleh Advokat Adnan Buyung Nasution semasa hidup.

“Setelah Bang Buyung wafat, jabatan ini dinonaktifkan, saat ini kita akan aktifkan kembali dan sidang kongres memutuskan diisi oleh Dr. Tjoetjoe sebagai Presiden KAI demisioner,” terang pimpinan sidang Kongres IV KAI Adv. Aldwin Rahadian.

Aldwin menjelaskan bahwa Honorary Chairman merupakan jabatan yang diberikan sebagai rasa hormat kepada tokoh yang berjasa besar kepada organisasi.

“Sepeninggal Bang Buyung tidak ada yang menempati posisi ini, sebagai rasa penghargaan organisasi terhadap Presiden demisioner yang telah berjuang untuk organisasi, maka anggota Kongres memberikan kehormatan kepada Dr. Tjoetjoe sebagai Honorary Chairman,” kata Aldwin menambahkan.

Sidang Kongres IV KAI menjelaskan bahwa Honorary Chairman merupakan kelengkapan struktural organisasi yang bertugas memberikan rekomendasi dan saran kepada Presidium DPP KAI. “Honorary Chairman adalah Pemangku Kehormatan KAI,” jelas Aldwin merujuk kepada Anggaran Dasar KAI yang baru disahkan pada Kongres Nasional Luar Biasa (KNLB) KAI.

Selain menetapkan Honorary Chairman, Kongres Advokat Indonesia juga menetapkan beberapa hal penting seperti mengganti sistem kepemimpinan dari model presidensil ke model presidium. “Alhamdulillah, Kongres juga telah memutuskan ada sembilan anggota Presidium KAI untuk kepengurusan periode 2024-2029,” tutur Aldwin.

Kongres IV KAI yang diadakan pada 7-8 Juni 2024 di Edutorium UMS Surakarta turut dihadiri tamu-tamu undangan seperti Sekda Jawa Tengah, dari ICJR, LPSK, dekan FH beberapa kampus, dan para Jenderal Purnawirawan Polri. Di KAI sendiri banyak purnawirawan jenderal polisi yang menjadi advokat.

 

 

Dihadiri Ribuan Advokat, Kongres IV KAI di Solo Trending Topic di Platform X

 

Ribuan advokat menghadiri Kongres Nasional ke-IV Kongres Advokat Indonesia (KAI) di Edutorium UMS Ahmad Dahlan Solo, Sabtu (8/6). Terpantau di platform X, hashtag #KongresIVKAI2024 jadi trending topic nasional. “Kalian tau ga si #KongresIVKAI2024 itu agenda lima tahunan dari organisasi kai yang menjadi forum pengambilan keputusan tertinggi di tingkat organisasi,” cuit akun @cimotyy (Fanny) yang telah terverifikasi oleh platform X (dulu Twitter).

Selain itu akun Alisa_byanda juga mengungkapkan bahwa memang banyak advokat yang hadir dalam kegiatan tersebut. “Keren! Sampe ribuan advokat se-indonesia yg tergabung dlm KAI hadir menyemarakkan #KongresIVKAI2024 semoga hasil pertemuannya mendapatkan keputusan yg terbaik,” tuturnya melalui akun @Alisa_bya.

Dalam Kongres tersebut, KAI memilih untuk mengganti sistem kepemimpinan organisasinya dari presidensil menjadi model presidium. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan organisasi dari potensi perpecahan secara internal. “Kita setuju untuk menggunakan sistem presidium yang bersifat kolektif kolegial untuk memimpin KAI kedepan,” kata pimpinan sidang Kongres IV KAI Adv. Aldwin Rahadian.

Sembilan orang anggota Presidium KAI yang telah disepakati oleh anggota Kongres di antaranya ada Heru Notonegoro, Aldwin Rahadian, Umar Husin, Denny Indrayana, Pheo Hutabarat, Diyah Sasanti, Rizal Haliman, Israq Mahmud, dan Rukhi Santoso. “Komposisi Presidium KAI terdiri dari enam orang unsur pusat dan tiga orang dari unsur daerah,” jelas Aldwin kepada media.

Pada kesempatan tersebut, KAI juga mengaktifkan kembali jabatan Honorary Chairman yang pernah ditempati oleh Advokat Adnan Buyung Nasution semasa hidup. Menurut penjelasan Aldwin, Honorary Chairman merupakan jabatan kehormatan yang diberikan kepada tokoh yang berjasa kepada organisasi.

“Kongres memutuskan untuk mengaktifkan kembali Honorary Chairman yang telah non aktif selama hampir satu dekade. Kita semua sepakat untuk mengangkat Presiden KAI Demisioner Dr. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto untuk jadi Honorary Chairman,” kata Aldwin.

Kongres IV KAI yang diadakan pada 7-8 Juni 2024 di Edutorium UMS Surakarta turut dihadiri tamu-tamu undangan seperti Sekda Jawa Tengah, dari ICJR, LPSK, dekan FH beberapa kampus, dan para Jenderal Purnawirawan Polri. Di KAI sendiri banyak purnawirawan jenderal polisi yang menjadi advokat.