Hal paling menarik dari hukum visavis tata-negara adalah soal constitutional aspect, rasanya ini yang paling mengena dan fokus, dalam konteks republikan. Menurut penulis, secara politik-hukum kita harus mengkaitkan dengan alas demokrasi, sebab ini soal antara mayoritas dan hak minoritas.
Hak menentukan nasib sendiri memberi penekanan pondasi utama kebernegaraan, yaitu aspek konstitutif (constitutive aspect), bahwa semua tata aturan yang ada di dalam pemerintahan harus merupakan hasil dari proses-proses yang dilandasi kehendak rakyat atau masyarakat (the will of the people or peoples) yang diatur olehnya.
Terdapat sebuah teori dimana suatu aturan akan dikatakan sebagai suatu hukum bilamana aturan tersebut telah ditetapkan, sehingga sebelum adanya penetapan, maka aturan tersebut belum dianggap sebagai hukum dan belum pernah ada atau lahir sebelumnya.
Padahal, teori tersebut hanya berkaitan dengan Asas legalitas dari Johan Anselm von Feuerbach (Lehrbuch des peinlichen recht: 1801) melalui adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali.
Menurut Machteld Boot dengan mengutip pendapat Jescheck dan Weigend, pada intinya hanya berkaitan dengan ada tidaknya unsur atau perbuatan pidana, sama sekali tidak berkaitan dengan hukum acara peradilan.
Namun, hal tersebut menjadi kerangka berpikir untuk hukum acara yang selalu ditekankan oleh APH untuk merelatifisir kehadiran, peran dan fungsi dari Advokat dalam sistem peradilan pidana terpadu. Impunitas, overspanning, mengamputasi kewenangan institusi lain dan sistem berjalan berdasarkan tafsir institusional.
Advokat sangat paham bahwa setiap perkara selalu didasarkan pada catatan dan dokumen sebagai bagian administratif yang harus dipenuhi, yang apabila tidak maka secara hukum dianggap tidak sah.
Di sisi lain, Advokat juga paham bahwa ketika keabsahan dipermasalahkan melalui prosedur pra-peradilan (misalnya) yang berdasarkan UU maka hal tersebut selalu dianggap sebagai langkah perlawanan, dimana setelah putusan pra-peradilan dan orang dikalahkan maka segera dilakukan penahanan atasnya.
Padahal, sangat mungkin bahwa banyak sekali perkara yang menjadi proyek transaksional, mulai dari yang ringan hingga yang terberat sekalipun. Ironis sekali jika dikatakan bahwa hukum acara secara argumentatif disebut tergantung pada politik hukum aktual.
Artinya, jika politik hukum pada suatu penguasa sudah tidak digunakan lagi dalam kekuasaan yang lain atau berikutnya, maka demikian juga dengan penegakan hukumnya yang akan berubah makna dan tafsiran, yang notabenenya selalu didasarkan pada ego sektoral.
Sangat tampak dalam beberapa tahun belakangan ini bagaimana pengguna politik hukum sebelumnya kemudian akan menjadi korban pada politik hukum baru yang disepakati untuk dijalankan, sungguh materi kejahatan penguasa yang disajikan secara terbuka oleh warga negaranya, bahkan dunia.
Pada zaman Romawi dahulu dikenal adanya crimine extra ordinaria yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang. Di antaranya adalah crimen stellionatus yang secara letterlijk artinya perbuatan jahat atau durjana. Ketika hukum Romawi kuno diterima di Eropa Barat pada abad pertengahan, crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang berkuasa dan cenderung menggunakan hukum pidana itu sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhan raja. (Moeljatno, 2015: 26)
Aturan yang memberikan kewenangan itulah yang memberikan celah absolutisme untuk berlaku sebagai sebagai the only game in town, bukan UU-nya yang menekan melainkan kewenangan politik hukum itu yang opresif, menjadi all embrace act atau alll purpose law terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah pidana, mencakup semua makna kepentingan negara, padahal hanya dalam batasan pemerintah.
Berkaitan dengan hal itu, mengutip uraian Prof. Gayus Lumbuun tentang Bangalore Principles tahun 2001 yang menurut penulis sebenarnya masih menjadi kelemahan karena hanya menekankan pada aspek internal saja sebagai prinsip etika peradilan sebagaimana dikatakan oleh Dr. Hatta Ali.
Penulis lebih cenderung pada Siracuse Principles tahun 1981 yang mana secara eksplisit menyebut suatu peradilan “independen dari pengaruh eksekutif dan legislatif” yang mempunyai yurisdiksi terhadap semua hal yang berkaitan dengan hal-hal di bidang peradilan.
Perubahan Paradigma
Merujuk pada penghormatan yang tinggi terhadap hak asasi dengan “due process of law” ternyata rumusan KUHAP masih saja sarat dengan muatan “crime control model/system” yang pasti tetap membuka institusional secara sektoral atau bahkan tidak perlu lagi merubah aturan institusinya sebab sudah diakomodasi oleh RKUHAP ini, alih-alih menyempurnakan rumusan sesuai kebutuhan masyarakat malah fokus kepada authority (kewenangan) dan kekuatan penyelidik, penyidik serta penuntutan.
Padahal, tujuan sudah berubah dari crime control model/system dengan prinsip pressumption of guilt kepada pressumption of innocence.
Sebagaimana sempat dirumuskan pada Pasal 86 ayat (1), Dalam melakukan penetapan Tersangka, Penyidik dilarang melakukan perbuatan yang menimbulkan praduga bersalah dengan cara mengumumkan penetapan Tersangka kepada publik dan/atau mengenakan atribut tertentu kepada Tersangka yang menunjukkan Tersangka bersalah (Jika belum berubah) – sejak penyidikan.
Pengakuan terhadap “peran” Advokat (mungkin) sudah dan bisa dirumuskan, akan tetapi “fungsinya” seolah dirumuskan dengan tidak menjaga “kesetaraan”, sehingga sangat dikenali bakal terjadi “subordinasi”, hanya dipandang sebelah mata dan sekedar pelengkap seperti sejarah pokrol sebagai pemenuhan formalistik hukum acara.
Di lapangan, kita sangat paham mengenai kapan sebenarnya orang berhadapan dengan hukum pidana membutuhkan peran PH, jasa atau banyuan hukum.
Kita hanya perlu menjawab pertanyaan yang selalu ada di lapangan, yaitu:
- Kapan seseorang berstatus sebagai tersangka? Yaitu, sejak adanya pelaporan yang menunjuk seseorang atau beberapa orang sebagai terduga
- Kapan orang sudah mendapat vonis? Adalah ketika ditetapkan sebagai tersangka bahkan ditahan
- Kapan orang harus mendapat bantuan hukum untuk membela dan mempertahankan hak-haknya sebagai subjek hukum pidana? Mestinya, sejak dilaporkan/diadukan.
Kebutuhan atas jasa atau bantuan hukum tidak bisa dipandang hanya dari kewenangan Advokat, tapi secara konstitusional adalah pada kebutuhan hak asasi seseorang dimana negara wajib mememenuhinya, tidak bisa dihilangkan meski memang perlu pembatasan.
Standar adanya pendampingan penasihat hukum yang bersifat wajib tanpa pengecualian untuk setiap tahap pemeriksaan harus ada, sejak klarifikasi, penyelidikan, penyidikan dan persidangan, sebagai pengimbang dan pembanding kebenaran materiil, meskipun ada surat penolakan namun tidak bisa dinilai mewakili kehendak orang yang berhadapan dengan hukum pidana.
Penolakan hendaknya hanya dilakukan terhadap pembiayaan atas Advokat, sehingga kewajiban Negara untuk membiayainya baik sebagian atau seluruh biaya.
Perlu dipahami soal distribusi dan pembagian kewenangan yang sejatinya memang di desain untuk mengendalikan dan membatasi praktek absolutisme. Syarat dari sentralisasi dalam prakteknya harus melalui transfer kekuasaan kepada siapa yang disepakati untuk berdaulat, maka harus ada kompromi yang melibatkan setiap elemen yang ada dalam sistem hukum pidana.
Tantangan selanjutnya adalah dalam pembentukan UU-nya butuh meaningful participation dari masyarakat, sebab resultan politik berkaitan harus melibatkan elemen publik, bukan sekedar political will dari kontrak politik tapi kontrak sosial.
Pengendalian perkara harus tetap ada di ranah petugas pengadilan dalam sistem hukum pidana, instrumen kelembagaan pengendalian perkara sudah diatur dalam KUHAP baik melalui koordinasi, pengawasan, praperadilan dan diferensiasi fungsional, pengaturan tersebut supaya tidak terjadi “kekuasaan satu tangan”.
Mungkin, banyak yang berpendapat bahwa seseorang itu belum dinyatakan sebagai tersangka, akan tetapi hak untuk memahami hukum dan peristiwa yang berkaitan dengan dugaan tindak pidana itu harus diberikan sejak sebagai terduga.
Sehingga, proses gelar perkara awal ketika suatu peristiwa itu memenuhi unsur tindak pidana orang tersebut sudah berada dalam situasi terlindungi secara hukum atas hak-haknya, bahkan secara bebas pun seseorang itu kapanpun saatnya sudah memegang hak untuk didampingi.
Secara singkat dalam implementasinya, untuk membangun benteng tahap pra-ajudikasi dan ajudikasi, pertama, pada penyelidikan sebelum gelar perkara I, dan kedua, tahap pertimbangan sebelum putusan pengadilan.
Dalam hal dilakukannya penjaminan oleh Advokat, tidak diperlukan adanya surat-surat permohonan kecuali pernyataan secara lisan.
Penjaminan terhadap klien yang dilakukan oleh Advokat sudah sangat dikenal dalam hukum, seperti misalnya jaminan uang (money bond), kepastian (surety bond), kehadiran (appearance bonds), dan moral (moral bonds).
Ditulis oleh Adv. Agung Pramono