FLP LAWYERS
FLP LAWYERS
Penolakan Atas Advokat Adalah Penyimpangan HAM

Masih banyak rumusan dalam Rancangan Hukum Acara Pidana tanggal 17 Februari 2025 yang mereduksi kehadiran Advokat, perhatian penulis tertuju pada Pasal 146 ayat (4) yang berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku  jika Tersangka atau Terdakwa menyatakan menolak untuk didampingi Advokat yang dibuktikan dengan berita acara.”

Ketentuan Pasal 28 H ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, dijabarkan pula dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 54, 55 dan 56 KUHAP bahwa pemberian bantuan hukum tersebut dimulai dari tingkatan pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan sampai dengan pemeriksaan di pengadilan.

Selanjutnya, Pasal 114 KUHAP menyatakan dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasehat hukum.

Pijakan dalam hukum acara pidana adalah prinsip peradilan yang adil (fair trial), hukum acara pidana harus dibentuk agar para unsur penegak hukum yang terkait di dalamnya jangan sampai melakukan paksaan kekuasaan (abuse of power).

Tugas dan tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan terhadap warganya merupakan alas perjanjian sebagaimana dikemukakan John Locke dan Thomas Hobbes dalam du Contract social dan factum subjectionis. [Theo Huijbers. 1988, Fisafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Kanisius, Yogyakarta. hal 82 88]

Disisi lain, dalam hal terdakwa menolak didampingi oleh penasehat hukum maka hal tersebut harus dimuat di dalam berita acara persidangan untuk menghindari dibatalkannya putusan.

International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) sudah ada 15 tahun sebelum lahirnya KUHAP yang memberikan pandangan atas beberapa substansi yang sangat urgent sampai saat ini telah mempengaruhi pula penafsiran dalam penarapan Hukum Acara Pidana.

Lembaga Penasehat Hukum

Peran seorang Advokat/Penasihat Hukum sudah secara jelas dimuat dalam ketentuan UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang antara lain dalam pasal 56 ayat (1) menyatakan bahwa, “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.”

Dan, UU Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Pasal 68B ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.”

Maka, lembaga Penasihat Hukum yang secara khusus pengadaannya menjadi syarat saat sedang dilakukan pemeriksaan sebagai implementasi dari asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Artinya, urgensi Advokat/Penasihat sudah lahir sejak seseorang diduga sebagai pelaku tindak pidana, sebagaimana isi Pasal 114 KUHAP sebelumnya.

Hak sebagaimana dalam rumusan dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP mutlak wajib diberikan oleh negara, karena tersangka membutuhkan diberikannya hak tersebut sebagai konsekuensi logis atas kebebasan yang dirampas oleh negara, sementara kesalahannya belum dibuktikan.

Menurut penulis, fungsi paling dasar dari lembaga penasehat hukum antara lain sebagai pengembanan hukum (rechtsbeoefening), authorized adjudicator penterjemah konstruksi fakta kedalam bahasa hukum, merujuk pada kewenangan memaksakan hukum (wetshandhaver) dan membantu hakim mencari kebenaran (waarheid).

Mr. Soemarno P. Wiryanto memberikan pendapatnya mengenai rasio atas rahasia pekerjaan Advokat, bahwa “hubungan advokat/pengacara dengan klien bersama halnya hubungan pasien dengan dokter dan hubungan orang dengan pastor, domine dan sebagainya ialah hubungan kepercayaan mutlak. Advokat/pengacara tak dapat membela baik, kalau ia tidak mengetahui rahasia-rahasia mengetahui semua rahasia-rahasia kliennya sampai seakan-akan tak ada hubungan dengan perkara yang diserahkan.”

Hubungan kepercayaan adalah “the lawyer as a fiduciary” (pengacara sebagai orang terpercaya) dan adanya “the duty of fidelity”  (amanah) advokat terhadap kliennya.

Sifat “clientenverhouding” ini menimbulkan konsekuensi bahwa Advokat dibebani kewajiban merahasiakan segala apa yang diterima dari klien sekaligus hak atas perlindungan hukum, maka dirumuskan dalam Kode Etik Advokat Pasal 19 ayat (2) yang melindungi hak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumen dari penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi.

Namun, prinseip tersebut bukan tidak tak terbatas sebab sistem peradilan pidana “adversary” di Indonesia tidak semata-mata berlaku “accusatorial” (berpihak kepada klien), tetapi juga berlaku sistem “inquisitorial” (berpihak pada keadilan), dan ini yang membutuhkan integritas profesional dari Advokat.

Urgensi perumusan tugas dan kewenangan Advokat selaku Penasehat Hukum dalam KUHAP menjadi linear ketika dipahami bahwa Advokat merupakan hal yang inheren dan visavis dengan fungsi Kepolisian dan Kejaksaan.

Seringkali penafsiran atas hak masyarakat dan Advokat itu diterjemahkan secara sepihak oleh APH sebatas pola pikirnya saja, by institution dan bukannya by system sehingga ironisnya masyarakat awam lebih takut dengan seragam ketimbang taat dengan hukum.

Advokat Bukan Hambatan

Penasehat hukum selaku pembela masyarakat (public defender) haruslah aktif, sehingga keputusan hakim tidak hanya berasal pada tuntutan Jaksa penuntut umum akan tetapi untuk mencapai tujuan hukum acara pidana yaitu kebenaran yang nyata, perbuatan yang benar-benar dilakukan oleh terdakwa, atau hubungan erat yang nyata antar pihak dalam perbuatan pidana tersebut.

Pledooi pada dasarnya juga merupakan tuntutan yang diajukan dalam proses peradilan yang sah, tidak boleh dihalang-halangi, kekuasaan negara yang lahir dari hak kemanusiaan, sebagai fungsionaris dari kekuasaan kehakiman.

Ketika Jaksa menuntut seseorang atau sekelompok orang untuk dihukum karena dianggap merugikan orang lain ataupun pemerintah dalam kaitannya dengan tugas negara, maka Advokat menuntut negara/pemerintah ketika merugikan terdakwa sehingga harus dilepaskan atau dibebaskan.

Demikian juga dengan pengumpulan data Advokat setara dengan penyelidikan dan penyidikan, harus dihormati. Artinya, Advokat adalah lembaga penasehat yang setara namun dengan sudut pandang yang berbeda.

Tidak jelasnya sanksi terhadap pejabat yang berwenang atas tidak dilaksanakannya kewajiban Pasal 56 ayat (1) KUHAP menjadikan kata “wajib” sebagai rumusan yang kehilangan sifat imperatifnya. Padahal, implikasi hukumnya adalah Berita Acara Pemeriksaan, penggeledahan, surat dakwaan hingga tuntutan tidak sah dan cacat hukum, bahkan apabila Hakim tidak menjalankan kewajibannya untuk menunjuk penasehat hukum bagi terdakwa sebagaimana dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP maka bisa berakibat dapat dibatalkannya putusan.

Implisit, hal tersebut juga termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2012.

Penolakan Atas Advokat

Norma hukum pasti menimbulkan hak bagi tersangka atau terdakwa dan sekaligus menimbulkan kewajiban bagi penyidik, penolakan atas lembaga penasehat hukum tidak serta merta menggugurkan hak dan/atau kewajiban negara melindungi hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights).

Fenomena Surat Pernyataan Penolakan Didampingi Penasihat Hukum (SP2DPH)  menunjukkan bahwa negara gagal menjamin bahwa hak yang diberikan itu benar-benar dilaksanakan dan sampai kepada subjek yang dituju yaitu tersangka atau terdakwa.

Melalui KUHAP negara menetapkan bahwa hak yang diatur di dalam Pasal 56 ayat (1) bersifat mutlak, dan oleh karenanya wajib diselenggarakan atas biaya negara kepada setiap tersangka atau terdakwa tanpa melihat ancaman hukumannya.

Ini merupakan konsekuensi logis dari perampasan kemerdekaan tersangka atas dugaan tindak pidana, sementara kesalahannya masih harus dibuktikan. Sebab satu haripun berada di dalam tahanan, tersangka bisa saja mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, bahkan kematian.

Seringkali penulis berpikir bahwa “kewajiban menunjuk penasihat hukum” dianggap sebagai hambatan, sebab terdapat kecenderungan APH untuk menggantikan tujuan formal yang ditentukan oleh Pasal 56 ayat (1) KUHAP dengan kebijakan dan tindakan-tindakan yang menghasilkan keuntungan maksimal dan mengurangi hambatan minimal bagi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

SP2DPH kadang dilakukan oleh APH untuk menghilangkan hambatan terhadap rutinitas pekerjaan, demi kelancaran rutinitas dan efisiensi kerja APH maka kepentingan tersangka atau terdakwa dan/atau penasihat hukum dikesampingkan, ini merupakan fenomena yang dijelaskan oleh Chamblis dan Seidman. [Chamblis & Seidman (1971: 265) dalam Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta, Genta Publishing, 2009, hlm. 50]

Seperti kebijakan bagi tersangka atau terdakwa untuk membuat SP2DPH melalui Surat Edaran Kejaksaan Agung RI NO. B570/F/Fpk.1/9/1994, yang pada intinya berisi “secara sadar dan atas kemauan sendiri, tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun, menolak pemberian bantuan secara cuma-cuma dari Penasihat Hukum”.

Keberadaan Advokat adalah Bagian dari Imunitas Rakyat

Advokat membela kepentingan dan hak-hak Terdakwa, dengan memberikan petunjuk-petunjuk dan mencari jalan keluar dari rangkaian dakwaan dan tuduhan Jaksa berdasarkan hukum dan regulasi yang berlaku, menyampaikan hal-hal yang mungkin belum terungkap sebagai fakta hukum persidangan yang lengkap, serta memberikan data dan bahan informasi agar Hakim dapat memberikan pertimbangan dan putusan yang sesuai dengan keadilan masyarakat.

Proses pra-ajudikasi menawarkan agar seseorang didampingi pengacara namun kadang menolak adalah karena tidak yakin bahwa pengacara akan membela secara serius apabila tidak membayar, dan kadang atau bahkan seringkali tidak tersampaikan bahwa bantuan hukum bisa cuma-cuma.

Tersangka tidak bisa menolak advokat yang ditunjuk untuk membelanya, karena advokat memiliki hak imunitas dan kewajiban untuk memberikan bantuan hukum. Proses peradilan terhadap ancaman pidana yang tergolong berat harus memiliki standar yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses peradilan tindak pidana ringan.

Hak untuk mendapat bantuan hukum merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Konsep pemikiran aparat penegak hukum bahwa pemberian bantuan hukum hanya sebagai pelengkap administrasi peradilan semata, sangat tidak mencerminkan prinsip Miranda Rule.

Penolakan dari tersangka/terdakwa yang sangat bisa jadi bukan karena kehendak pribadi, meskipun ada surat penolakan yang tidak bisa dinilai mewakili kehendak juga merupakan tindakan yang melanggar imunitas Advokat.

Penolakan hanya dilakukan terhadap pembiayaan atas Advokat, sehingga kewajiban Negara untuk membiayainya, yang merupakan original intent dari probono publico atas sebagian atau seluruh biaya.

Penolakan terhadap lembaga penasehat hukum/Advokat hanya bisa dilakukan sebagai bagian dari pengakuan atas perbuatan yang dituduhkan, dan berita acara yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah berita acara pengakuan.

*Adv. Agung Pramono, SH, CIL

 

 

 

 

 

 

Tjoetjoe S Hernanto: Advokat Tak Bisa Dipecat Sembarangan, Harus Lewat Sidang Etik

Tjoetjoe menanggapi aksi advokat Firdaus Oiwobo dan Razman Arif Nasution yang viral di media sosial ketika sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara beberapa waktu lalu.

Pasca viral di berbagai media soal aksinya di pengadilan, Firdaus Oiwobo dipecat dari organisasi advokatnya, yakni Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang berujung pada pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS)-nya oleh Pengadilan Tinggi Banten serta Razman Arif Nasution oleh Pengadilan Tinggi Ambon.

Honorary Chairman Kongres Advokat Indonesia (KAI), Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, menegaskan bahwa pemecatan advokat oleh organisasi advokat, apapun organisasinya, harus dilakukan secara hati-hati melalui proses yang adil dan sesuai prosedur. Ia mengkritisi pemecatan advokat yang dilakukan tanpa sidang etik, yang menurutnya merupakan tindakan yang tidak adil.

Tjoetjoe menekankan bahwa dalam kasus dugaan terjadinya pelanggaran etik yang dilakukan oleh advokat di ruang sidang, pengadilan seharusnya mengajukan pengaduan kepada organisasi advokat terkait.

Organisasi advokat kemudian menindaklanjuti pengaduan tersebut dengan menyerahkan prosesnya melalui Dewan Kehormatan Daerah dengan membentuk Majelis Sidang Etik yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili pengaduan tersebut, serta memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada advokat yang bersangkutan untuk membela diri.

Lebih jauh, terhadap putusan Majelis Etik tersebut, kepada advokat teradu diberikan kesempatan untuk melakukan upaya banding bila putusannya dirasa tidak adil dan tidak sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan etik.

Adapun jika setelah proses banding advokat tetap dinyatakan bersalah dan diberhentikan dari profesinya, organisasi advokat tersebut akan mengirimkan surat kepada Mahkamah Agung (MA) untuk menonaktifkan akun advokat tersebut pada aplikasi ecourt MA.

“Seharusnya prosedur seperti itu diterapkan. Namun, dalam kenyataannya, proses ini tampaknya tidak diikuti secara benar. Bisa jadi, ada unsur subjektif dalam pengambilan keputusan. Banyak pelanggaran hukum lain yang tidak ditindak secara serupa,” ujarnya saat ditemui Hukumonline, Rabu (19/2).

Kemudian, ia menyoroti kasus Razman dan Firdaus Oiwobo yang dipecat tanpa melalui pemeriksaan etik yang seharusnya dilakukan oleh organisasi advokat. Menurutnya, organisasi advokat memiliki kewajiban untuk memeriksa anggotanya sebelum menjatuhkan sanksi, bukan hanya berdasarkan opini publik atau tekanan dari pihak luar. Jika tanpa melalui itu, seperti advokat yang tiba-tiba dipecat tanpa melalui proses sidang etik, ia berkata keputusan tersebut harusnya batal demi hukum.

“Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap dari profesi tanpa dilakukan pemeriksaan melalui sidang etik, itu adalah kejahatan terbesar dalam profesi ini.” ujarnya.

“BAS merupakan janji kita kepada Tuhan, yang kebetulan dicatat oleh pengadilan. Sama seperti seorang dokter yang mengucapkan sumpah sebelum menjalankan tugas profesinya, begitu pula dengan seorang notaris dan berbagai profesi lainnya. Jika terdapat pelanggaran etik, yang dicabut seharusnya bukan BAS-nya. Sebab BAS itu hanya mencatat suatu peristiwa. BAS itu melekat pada surat izin praktiknya,” tegas dia.

Ada pelajaran berharga yang patut dicontoh oleh Institusi Penegak Hukum lainnya, yaitu ketika 9 Hakim Mahkamah Konstitusi mengadukan Adv. Prof. Denny Indrayana kepada Kongres Advokat Indonesia (KAI) karena dugaan melakukan pelanggaran etik profesi advokat.

“Pencabutan BAS bukan langkah yang tepat. Jika seorang advokat diduga melanggar etik, seharusnya pengadilan mengajukan pengaduan kepada organisasi advokat agar diperiksa melalui sidang etik,” ucapnya.

Selain itu, Tjoetjoe juga menyoroti ketidakjelasan mengenai jangka waktu pembekuan BAS advokat. Menurutnya, pembekuan itu berbeda dengan pencabutan, yang mana kalau pembekuan harus ada batas waktunya.

“Ingat, memberhentikan advokat dari profesinya itu seperti orang dihukum mati. Bisa saja dari profesi ini seseorang menghidupi ibunya yang sudah renta, menghidupi anak dan istrinya, menyantuni anak-anak yatim dan lain sebagainya,” kata Tjoetjoe.

“Saya tidak membenarkan tindakan Firdaus, tetapi saya menentang cara-cara penanganannya yang tidak sesuai dengan prosedur. Tidak seharusnya seseorang dihakimi tanpa proses yang adil. Penegakan hukum harus berdasarkan prinsip due process of law,” tegas dia.

Hingga kini, kelanjutan proses hukum di kepolisian terhadap kasus ini masih belum diketahui. Meskipun sudah dilaporkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara, perkembangan lebih lanjut belum terlihat.

“Jika melihat kondisi penegakan hukum saat ini, terutama perlakukan terhadap profesi advokat, saya merasa hampir kehilangan harapan. Penegakan hukum etik di dunia advokat masih membutuhkan banyak perbaikan,” tambahnya.

Terkait perpindahan advokat antar organisasi, Tjoetjoe menjelaskan bahwa advokat yang dijatuhi sanksi oleh organisasi advokat tertentu, sepanjang belum dinyatakan inkracht atau berkekuatan hukum tetap, advokat tersebut dapat bergabung dengan organisasi advokat lainnya, sepanjang organisasi advokat yang baru, menerima.

“Kalau dijatuhi sanksi dengan cara yang tidak adil, dia boleh menolak. Dia bisa banding. Seperti yang terjadi pada beberapa advokat sebelumnya, mereka bisa pindah organisasi. Itu hak mereka,” jelas Tjoetjoe.

Dengan adanya kasus ini, Tjoetjoe mendorong agar rencana pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN) sebagai lembaga regulator tunggal (single regulator) organisasi advokat di Indonesia bisa segera diwujudkan.

“Ini bukan lagi perdebatan tentang single bar dan multi bar, karena keduanya terbukti memiliki kelebihan dan kekurangan. Kini, format baru yang diperlukan adalah regulator tunggal dengan organisasi advokat yang tetap hidup di bawahnya, mirip dengan sistem Komisi KPU yang mengawasi banyak partai politik,” ungkapnya.

Melalui kasus Razman, Firdaus, dan Hotman Paris, Tjoetjoe berharap pemerintah benar-benar menjadikan ini sebagai momentum untuk membenahi dunia advokat. Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran diharapkan mulai memikirkan langkah konkret untuk menyelesaikan permasalahan dalam dunia advokat.

Pernah Ditempati Adnan Buyung Nasution, Honorary Chairman Kongres Advokat Indonesia Kini Diisi Tjoetjoe S Hernanto

 

Kongres Advokat Indonesia (KAI) memutuskan untuk mengaktifkan jabatan Honorary Chairman pada Kongres IV KAI 2024. Jabatan Honorary Chairman di KAI pernah diisi oleh Advokat Adnan Buyung Nasution semasa hidup.

“Setelah Bang Buyung wafat, jabatan ini dinonaktifkan, saat ini kita akan aktifkan kembali dan sidang kongres memutuskan diisi oleh Dr. Tjoetjoe sebagai Presiden KAI demisioner,” terang pimpinan sidang Kongres IV KAI Adv. Aldwin Rahadian.

Aldwin menjelaskan bahwa Honorary Chairman merupakan jabatan yang diberikan sebagai rasa hormat kepada tokoh yang berjasa besar kepada organisasi.

“Sepeninggal Bang Buyung tidak ada yang menempati posisi ini, sebagai rasa penghargaan organisasi terhadap Presiden demisioner yang telah berjuang untuk organisasi, maka anggota Kongres memberikan kehormatan kepada Dr. Tjoetjoe sebagai Honorary Chairman,” kata Aldwin menambahkan.

Sidang Kongres IV KAI menjelaskan bahwa Honorary Chairman merupakan kelengkapan struktural organisasi yang bertugas memberikan rekomendasi dan saran kepada Presidium DPP KAI. “Honorary Chairman adalah Pemangku Kehormatan KAI,” jelas Aldwin merujuk kepada Anggaran Dasar KAI yang baru disahkan pada Kongres Nasional Luar Biasa (KNLB) KAI.

Selain menetapkan Honorary Chairman, Kongres Advokat Indonesia juga menetapkan beberapa hal penting seperti mengganti sistem kepemimpinan dari model presidensil ke model presidium. “Alhamdulillah, Kongres juga telah memutuskan ada sembilan anggota Presidium KAI untuk kepengurusan periode 2024-2029,” tutur Aldwin.

Kongres IV KAI yang diadakan pada 7-8 Juni 2024 di Edutorium UMS Surakarta turut dihadiri tamu-tamu undangan seperti Sekda Jawa Tengah, dari ICJR, LPSK, dekan FH beberapa kampus, dan para Jenderal Purnawirawan Polri. Di KAI sendiri banyak purnawirawan jenderal polisi yang menjadi advokat.

 

 

ADVOKAT 4.0

Sama dengan organisasi lain, manajemen kantor hukum adalah semua proses bisnis yang menjaga perusahaan tetap beroperasi, termasuk pemasaran, keuangan, akuntansi, sumber daya manusia, kebijakan, prosedur, dan alur kerja, namun menangani tugas-tugas seperti manajemen kasus hukum orientasi klien baru, pengambilan dokumen dan pengelolaan informasi, penjadwalan janji temu, peninjauan dan persetujuan dokumen, pelacakan waktu, penagihan dan pembayaran, persiapan sidang, dan pengarsipan file klien di akhir perikatan

Vice President Kongres Advokat Indonesia, Pheo M. Hutabarat dalam satu kesempatan upgrading Advokat KAI mengatakan, kantor hukum yang baik adalah kantor hukum yang memiliki visi dan misi yang tepat dengan ide dasar tentang bagaimana kantor hukum nantinya akan dirasakan oleh klien, lawyers, dan para karyawan.

“Saat ini dunia sudah terbuka, maka market luas juga terbuka. Adanya publikasi independen ini bisa membuat kita diketahui oleh calon klien. Sudah tidak zamannya lagi jualan dari kuping ke kuping, jadi reputasi harus dibangun dengan memanfaatkan teknologi informasi. No body will hear you, let’s the third party do,’’ ujarnya.

Pemanfaatan teknologi yang terprogram dengan metode untuk memperoleh gambaran hak dan kewajiban hukum bahkan skala prioritas berdasarkan data yang terkumpul dan terseleksi mengenai fenomena yang ada dengan kausalitas norma yang sudah dapat dikerjakan secara otomatis dan cepat.

Perencanaan manajemen risiko melalui identifikasi peristiwa hukum yang kemungkinan terjadi, dampak potensial dan respon yang harus dilakukan ketika resiko datang, dan ini bisa dilakukan denan rekayasa teknologi untuk memaksimalkan hasil dan memenuhi batas waktu (target), sehingga kantor hukum akan lebih cenderung proaktif dalam mengambil langkah untuk mengurangi kemungkinan kendala yang muncul, lebih optimal dan efisien dalam mengevaluasi.

Untuk mengembangkan SOP, dimulai dengan mendokumentasikan dan mengatur semua informasi yang relevan, kemudian membuatnya dapat diakses oleh seluruh associate dan partner dalam format digital yang mudah diakses.

BASIS DATA

Teknologi dan inventarisasi data diharapkan mampu untuk menjadi problem solving sehingga kinerja Advokat dapat lebih ringan dan fokus kepada masalah persuasi dan psikis klien serta relasi profesional.

Teknologi manajemen praktik hukum juga dapat membantu memberi rujukan hukum dan wawasan yang mudah diakses. Mungkin manfaat paling signifikan dari perangkat lunak manajemen praktik hukum terlihat dalam hal pengelolaan pekerjaan jarak jauh, mengurangi stres dan tidak lagi teralihkan pada detail berulang yang tidak perlu ditangani lebih dari satu kali.

Beberapa dari banyak hal sehari-hari yang menjadi lebih mudah dengan menggunakan AI di firma hukum, antara lain adalah penilaian hasil, mempercepat penelitian, konsistensi bahasa, kelengkapan dokumen hingga nenunjukkan adanya kesalahan ketik.

Menurut saya, e-court yang sudah terintegrasi dalam e-berpadu antara MA, Kejaksaan dan Kepolisian bakal bisa ditindaklanjuti dengan e-lawyer.

Apalagi sekarang jika aplokasi halo desa yang sedang dikembangkan oleh rekan kejaksaan bisa diintegrasikan juga dengan e-lawyer. Untuk program desa, seperti sekarang harus mbuka akses dan konsolidasi antara Pemerintah Daerah, Kejaksaan dengan Advokat.

Namun, harus diakui bahwa yang masih kita hadapi hingga saat ini adalah Advokat masih terkendala pengakuan dan kewenangan, sehingga sulit sekali rasanya dengan tanpa jabatan dan seragam resmi kenegaraan dapat berkomunikasi secara egaliter dengan rekan-rekan aparat penegak hukum.

Dasar hukum yang harusnya dapat membuka diri dari rekan Kejaksaan adalah UU No. 11/2021 Tentang Perubahan Atas UU No. 16/2004 Tentang Kejaksaan RI Pasal 33 huruf a yaitu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dan komunikasi dengan lembaga penegak hukum dan instansi lainnya.

Demikian juga dengan UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI Pasal 30 ayat (3) huruf a, dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan “turut” menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat. (Pasal ini tidak diubah dalam UU No. 11/2021) yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa “yang dimaksud dengan turut menyelenggarakan adalah mencakup kegiatan-kegiatan bersifat membantu, turut serta, dan bekerja sama.”

Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait. Penulis berharap, begitu juga dengan rekan Kepolisian yang dalam UU No. 2/2002 Tentang Kepolisian Negara RI Pasal 14 ayat (1) huruf j menyebutkan, dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melayani kepentingan warga masyarakat “untuk sementara” sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang.

MASALAH LAIN

Terhadap pengembangan aplikasi e-Lawyer Kongres Advokat Indonesia, sementara ini, dari informasi yang ada mengatakan bahwa ada salah satu paslon yang mewacanakan pusat inovasi nasional dengan transformasi data dari analog ke digital. Menyebutkan sebuah kota baru yang diproyeksikan menjadi pusat ekosistem digital, dengan 9 kota lainnya sebagai pusat industri dengan teknologi tinggi.

Seperti konstelasi galaksi dimana IKN menjadi pusat super hub dari ekosistem digital, kota lainnya akan menjadi kota industri untuk chips dan nanoteknologi, industri Internet of Things (IoT) dan sensor, pusat industri kecerdasan buatan atau Artificial Inteligence (AI) dan teknologi komputasi, industri perangkat mobile dan teknologi realitas virtual/augmented reality (VR/AR), pusat industri robotika dan kendaraan otonom, pusat industri antarmuka komputer manusia dan media sosial, industri bioteknologi dan pertanian, pusat industri penyimpanan energi dan pusat industri satelit dan konektivitas.

Metaverse adalah dunia virtual yang mereplikasi dunia asli di mana seluruh orang bisa berinteraksi secara real-time (waktu nyata) dalam bentuk 3D, beserta aspek lainnya seperti mata uang, perdagangan, dan kepemilikan properti yang memberikan akses kepada pengguna yang memungkinkan kita masuk dengan sebuah representasi diri berwujud avatar yang mewakili manusia untuk melakukan interaksi sosial, berbicara, meynetuh, merasakan bahkan mengecap.

Mengingat perkembangan teknologi pemrograman seringkali kita menyaksikan tampilan-tampilan figur atau subjek baik rekaan AI maupun salinan dari subjek lainnya

Apakah tampilan tersebut akan beririsan dengan perlindungan data pribadi, karya cipta atau hak siar maupun hak duplikasi dari figur sebenarnya?

Bagaimana keamanan penyimpanan datanya? Bagaimana karakteristik dan implementasi kontraknya?

Sebab pada dasarnya semua tersimpan sebagai big data yang hanya dibatasi dengan kata kunci untuk membuka dan mengambil semua data lintasan siapapun yang terdokumentasi otomatis tanpa perlu bergerak. Ini adalah problem hukum kedepan.

REVOLUSI ADVOKAT

Dalam ide-ide revolusi yang sering dilontarkan Presiden Soekarno, orang-orang hukum, jurist, tampaknya sangat sulit diajak turut serta. Bung Karno berkali-kali mengutip pidato aktivis buruh Jerman, Liebknecht, “Met jusristen kan je revolutie maken’” Orang hukum susah diajak melakukan revolusi. Itu pula yang disampaikan Bung Karno dalam Kongres I Persahi tersebut.

“Ahli hukum, jurist, kebanyakan sangat legalistis, sangat memegang kepada hukum-hukum yang prevaleren, sangat memegang kepada hukum-hukum yang ada, sehingga jikalau diajak revolusi –revolusi yang berarti melemparkan hukum yang ada, a revolution rejects yesterday ….amat sulitlah yang demikian itu,” ucap Bung Karno dalam pidatonya kala itu.

Itu dulu, mungkin, ketika negara masih perlu dibentuk sesuai pondasi dan karakter bangunan, berbeda dengan sekarang dimana sudah harus bangun dari tidur panjang.

Dalam ranah praktek hukum, JDIH (jaringan informasi dokumen dan informasi hukum) yang lagi-lagi sebetulnya digagas oleh Advokat, Gregory John Churchill, dalam publikasinya tahun 1992 yang tidak banyak dikutip di dunia hukum, berjudul “The Development of Legal Information Systems in Indonesia” menjelaskan bagaimana sumber-sumber hukum seperti putusan pengadilan, UU, dan risalah DPR sering tidak dapat diakses oleh pengacara dan bagaimana hal tersebut berdampak terhadap pekerjaan terhadap database peraturan per-uu-an ternyata masih lemah, sebatas akses level nasional

Dari sini, rasanya sangat beralasan jika kita membentuk suatu jaringan data peraturan KAI dengan SDM tiap DPC untuk melakukan selain kerjasama invetarisasi aturan kabupaten, DPC juga bisa pendekatan ke Pemerintah Daerah.

Ini aktivitas yang belum disentuh rekan kepolisian dan kejaksaan dalam merespon kebutuhan masyarakat (dalam pemikiran mereka) yang sedang gencar mengembangkan penyuluhan dan pelayanan dari pintu ke pintu. SDM kita sudah jauh lebih dulu membumi ketimbang APH lain, dan meliputi banyak daerah/kabupaten/kota. Karenanya, tidak ada alasan untuk tertinggal, tidur bahkan terjebak dalam kebiasaan standar, dengan motto “yang penting beres”.

Kedepan, bukan hanya konsultasi hukum dan acara peradilan namun juga memang kita mempunyai database peraturan daerah/lokal khusus yang mengikat dan menjadi karakter daerah tersebut yang juga merupakan bagian dari wawasan hukum dan implementasinya.

Sebagaimana penulis ketahui sendiri bahwa Presiden KAI, Tjoetjoe Sandjaja Hernanto sedang membentuk sebuah tim dalam kantor hukumnya, IndoLaw, yang melakukan pengembangan e-Lawyer dan sistem kajian hak, kewajiban, kebijakan dan prosedur bahkan peta data masalah hukum dengan artificial intelligence, tidak hanya untuk kantornya tapi juga membuka akses kepada anggota KAI nantinya.

Bahkan ternyata, basis data peraturan perundang-undangan daerah yang diinventarisir justeru memberikan kontribusi bagi salah satu website informasi hukum terbesar Indonesia sekaligus pengembang teknologi tersebut, terjadi sinergi yang baik dan positif. WOW!

*Adv. Agung Pramono, SH, CIL

Simak! Hall of Fame 2023, Deretan Partner Law Firm Alumni Kampus Top Indonesia

Hall of Fame – Top Indonesian Law Schools 2023 adalah sebuah daftar eksklusif para partner dari kantor hukum terkemuka, lulusan kampus-kampus hukum terbaik di Indonesia. Daftar ini berisi 660 nama advokat yang berasal dari 25 kampus hukum.

Hukumonline resmi meluncurkan “Hall of Fame – Top Indonesian Law Schools 2023”. Berisi ratusan nama alumni bergelar sarjana hukum dan almamaternya, daftar ini memuat deretan advokat yang menempati kursi Partner kantor hukum. Seluruh nama partner tersebut dipetakan berdasarkan pada almamaternya saat mereka menempuh Pendidikan S-1 Ilmu Hukum di perguruan tinggi hukum yang bermitra dengan Hukumonline.

“Top Indonesian Law Schools 2023 Hall of Fame adalah kado akhir tahun dari Hukumonline kepada komunitas hukum khususnya para partner lebih dari 100 kantor hukum ternama di Indonesia dan almamater mereka,” ungkap Chief Media & Engagement Officer (CMO) Hukumonline Amrie Hakim dalam pernyataannya, Rabu (27/12/2023).

Adapun nama-nama yang ditampilkan merupakan Partner yang berasal dari kantor hukum ternama di Indonesia yang ikut serta dalam ajang Top 100 Indonesian Law Firms 2023. “Melalui publikasi ini Hukumonline berharap dapat lebih mendekatkan para partner kantor hukum terkemuka dengan almamater mereka, agar bisa menjalin kolaborasi yang saling memberikan manfaat satu dengan yang lain,” kata dia.

Anda bisa cek daftar lengkap Hall of Fame – Top Indonesia Law Schools 2023 di bawah ini!

Amrie menyebut setidaknya terdapat lebih dari 660 nama Partner yang tercatat sebagai alumni dari 25 kampus hukum yang masuk dalam jaringan mitra University Solution Hukumonline. Ia berharap melalui Hall of Fame – Top Indonesian Law Schools – 2023 bisa menumbuhkan konektivitas yang semakin kuat antar alumni maupun dengan almamater. Dengan demikian dapat terjalin ragam peluang kolaborasi nyata yang berimplikasi pada penguatan ekosistem hukum di Indonesia.

“Dokumentasi ini diawali dengan keinginan kita untuk berpartisipasi aktif lebih jauh dalam perkembangan pendidikan dan hukum di Indonesia. Melalui ini pula, semoga dapat membantu perguruan tinggi hukum untuk melakukan pendataan untuk kepentingan akreditasi, misalnya, atau kuliah tamu, audiensi dengan mahasiswa, kurikulum, dan hal positif lainnya yang sifatnya kolaboratif,” ujar Research & Awards Manager Hukumonline, Katon Baskoro, ketika dihubungi secara terpisah.

Pada pemetaan yang dilakukan, seluruh data almamater para Partner dokumentasikan khusus ketika menempuh pendidikan S-1 Ilmu Hukum di perguruan tinggi yang berbasis di Indonesia dan masuk dalam jaringan mitra University Solution Hukumonline. Adapun data yang terkumpul diperoleh secara langsung dari kantor hukum melalui PIC masing-masing ketika pengumpulan data untuk Top 100 Indonesian Law Firms 2023. HUKUMONLINE