FLP LAWYERS
FLP LAWYERS
Penolakan Atas Advokat Adalah Penyimpangan HAM

Masih banyak rumusan dalam Rancangan Hukum Acara Pidana tanggal 17 Februari 2025 yang mereduksi kehadiran Advokat, perhatian penulis tertuju pada Pasal 146 ayat (4) yang berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku  jika Tersangka atau Terdakwa menyatakan menolak untuk didampingi Advokat yang dibuktikan dengan berita acara.”

Ketentuan Pasal 28 H ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, dijabarkan pula dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 54, 55 dan 56 KUHAP bahwa pemberian bantuan hukum tersebut dimulai dari tingkatan pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan sampai dengan pemeriksaan di pengadilan.

Selanjutnya, Pasal 114 KUHAP menyatakan dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasehat hukum.

Pijakan dalam hukum acara pidana adalah prinsip peradilan yang adil (fair trial), hukum acara pidana harus dibentuk agar para unsur penegak hukum yang terkait di dalamnya jangan sampai melakukan paksaan kekuasaan (abuse of power).

Tugas dan tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan terhadap warganya merupakan alas perjanjian sebagaimana dikemukakan John Locke dan Thomas Hobbes dalam du Contract social dan factum subjectionis. [Theo Huijbers. 1988, Fisafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Kanisius, Yogyakarta. hal 82 88]

Disisi lain, dalam hal terdakwa menolak didampingi oleh penasehat hukum maka hal tersebut harus dimuat di dalam berita acara persidangan untuk menghindari dibatalkannya putusan.

International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) sudah ada 15 tahun sebelum lahirnya KUHAP yang memberikan pandangan atas beberapa substansi yang sangat urgent sampai saat ini telah mempengaruhi pula penafsiran dalam penarapan Hukum Acara Pidana.

Lembaga Penasehat Hukum

Peran seorang Advokat/Penasihat Hukum sudah secara jelas dimuat dalam ketentuan UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang antara lain dalam pasal 56 ayat (1) menyatakan bahwa, “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.”

Dan, UU Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Pasal 68B ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.”

Maka, lembaga Penasihat Hukum yang secara khusus pengadaannya menjadi syarat saat sedang dilakukan pemeriksaan sebagai implementasi dari asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Artinya, urgensi Advokat/Penasihat sudah lahir sejak seseorang diduga sebagai pelaku tindak pidana, sebagaimana isi Pasal 114 KUHAP sebelumnya.

Hak sebagaimana dalam rumusan dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP mutlak wajib diberikan oleh negara, karena tersangka membutuhkan diberikannya hak tersebut sebagai konsekuensi logis atas kebebasan yang dirampas oleh negara, sementara kesalahannya belum dibuktikan.

Menurut penulis, fungsi paling dasar dari lembaga penasehat hukum antara lain sebagai pengembanan hukum (rechtsbeoefening), authorized adjudicator penterjemah konstruksi fakta kedalam bahasa hukum, merujuk pada kewenangan memaksakan hukum (wetshandhaver) dan membantu hakim mencari kebenaran (waarheid).

Mr. Soemarno P. Wiryanto memberikan pendapatnya mengenai rasio atas rahasia pekerjaan Advokat, bahwa “hubungan advokat/pengacara dengan klien bersama halnya hubungan pasien dengan dokter dan hubungan orang dengan pastor, domine dan sebagainya ialah hubungan kepercayaan mutlak. Advokat/pengacara tak dapat membela baik, kalau ia tidak mengetahui rahasia-rahasia mengetahui semua rahasia-rahasia kliennya sampai seakan-akan tak ada hubungan dengan perkara yang diserahkan.”

Hubungan kepercayaan adalah “the lawyer as a fiduciary” (pengacara sebagai orang terpercaya) dan adanya “the duty of fidelity”  (amanah) advokat terhadap kliennya.

Sifat “clientenverhouding” ini menimbulkan konsekuensi bahwa Advokat dibebani kewajiban merahasiakan segala apa yang diterima dari klien sekaligus hak atas perlindungan hukum, maka dirumuskan dalam Kode Etik Advokat Pasal 19 ayat (2) yang melindungi hak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumen dari penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi.

Namun, prinseip tersebut bukan tidak tak terbatas sebab sistem peradilan pidana “adversary” di Indonesia tidak semata-mata berlaku “accusatorial” (berpihak kepada klien), tetapi juga berlaku sistem “inquisitorial” (berpihak pada keadilan), dan ini yang membutuhkan integritas profesional dari Advokat.

Urgensi perumusan tugas dan kewenangan Advokat selaku Penasehat Hukum dalam KUHAP menjadi linear ketika dipahami bahwa Advokat merupakan hal yang inheren dan visavis dengan fungsi Kepolisian dan Kejaksaan.

Seringkali penafsiran atas hak masyarakat dan Advokat itu diterjemahkan secara sepihak oleh APH sebatas pola pikirnya saja, by institution dan bukannya by system sehingga ironisnya masyarakat awam lebih takut dengan seragam ketimbang taat dengan hukum.

Advokat Bukan Hambatan

Penasehat hukum selaku pembela masyarakat (public defender) haruslah aktif, sehingga keputusan hakim tidak hanya berasal pada tuntutan Jaksa penuntut umum akan tetapi untuk mencapai tujuan hukum acara pidana yaitu kebenaran yang nyata, perbuatan yang benar-benar dilakukan oleh terdakwa, atau hubungan erat yang nyata antar pihak dalam perbuatan pidana tersebut.

Pledooi pada dasarnya juga merupakan tuntutan yang diajukan dalam proses peradilan yang sah, tidak boleh dihalang-halangi, kekuasaan negara yang lahir dari hak kemanusiaan, sebagai fungsionaris dari kekuasaan kehakiman.

Ketika Jaksa menuntut seseorang atau sekelompok orang untuk dihukum karena dianggap merugikan orang lain ataupun pemerintah dalam kaitannya dengan tugas negara, maka Advokat menuntut negara/pemerintah ketika merugikan terdakwa sehingga harus dilepaskan atau dibebaskan.

Demikian juga dengan pengumpulan data Advokat setara dengan penyelidikan dan penyidikan, harus dihormati. Artinya, Advokat adalah lembaga penasehat yang setara namun dengan sudut pandang yang berbeda.

Tidak jelasnya sanksi terhadap pejabat yang berwenang atas tidak dilaksanakannya kewajiban Pasal 56 ayat (1) KUHAP menjadikan kata “wajib” sebagai rumusan yang kehilangan sifat imperatifnya. Padahal, implikasi hukumnya adalah Berita Acara Pemeriksaan, penggeledahan, surat dakwaan hingga tuntutan tidak sah dan cacat hukum, bahkan apabila Hakim tidak menjalankan kewajibannya untuk menunjuk penasehat hukum bagi terdakwa sebagaimana dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP maka bisa berakibat dapat dibatalkannya putusan.

Implisit, hal tersebut juga termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2012.

Penolakan Atas Advokat

Norma hukum pasti menimbulkan hak bagi tersangka atau terdakwa dan sekaligus menimbulkan kewajiban bagi penyidik, penolakan atas lembaga penasehat hukum tidak serta merta menggugurkan hak dan/atau kewajiban negara melindungi hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights).

Fenomena Surat Pernyataan Penolakan Didampingi Penasihat Hukum (SP2DPH)  menunjukkan bahwa negara gagal menjamin bahwa hak yang diberikan itu benar-benar dilaksanakan dan sampai kepada subjek yang dituju yaitu tersangka atau terdakwa.

Melalui KUHAP negara menetapkan bahwa hak yang diatur di dalam Pasal 56 ayat (1) bersifat mutlak, dan oleh karenanya wajib diselenggarakan atas biaya negara kepada setiap tersangka atau terdakwa tanpa melihat ancaman hukumannya.

Ini merupakan konsekuensi logis dari perampasan kemerdekaan tersangka atas dugaan tindak pidana, sementara kesalahannya masih harus dibuktikan. Sebab satu haripun berada di dalam tahanan, tersangka bisa saja mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, bahkan kematian.

Seringkali penulis berpikir bahwa “kewajiban menunjuk penasihat hukum” dianggap sebagai hambatan, sebab terdapat kecenderungan APH untuk menggantikan tujuan formal yang ditentukan oleh Pasal 56 ayat (1) KUHAP dengan kebijakan dan tindakan-tindakan yang menghasilkan keuntungan maksimal dan mengurangi hambatan minimal bagi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

SP2DPH kadang dilakukan oleh APH untuk menghilangkan hambatan terhadap rutinitas pekerjaan, demi kelancaran rutinitas dan efisiensi kerja APH maka kepentingan tersangka atau terdakwa dan/atau penasihat hukum dikesampingkan, ini merupakan fenomena yang dijelaskan oleh Chamblis dan Seidman. [Chamblis & Seidman (1971: 265) dalam Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta, Genta Publishing, 2009, hlm. 50]

Seperti kebijakan bagi tersangka atau terdakwa untuk membuat SP2DPH melalui Surat Edaran Kejaksaan Agung RI NO. B570/F/Fpk.1/9/1994, yang pada intinya berisi “secara sadar dan atas kemauan sendiri, tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun, menolak pemberian bantuan secara cuma-cuma dari Penasihat Hukum”.

Keberadaan Advokat adalah Bagian dari Imunitas Rakyat

Advokat membela kepentingan dan hak-hak Terdakwa, dengan memberikan petunjuk-petunjuk dan mencari jalan keluar dari rangkaian dakwaan dan tuduhan Jaksa berdasarkan hukum dan regulasi yang berlaku, menyampaikan hal-hal yang mungkin belum terungkap sebagai fakta hukum persidangan yang lengkap, serta memberikan data dan bahan informasi agar Hakim dapat memberikan pertimbangan dan putusan yang sesuai dengan keadilan masyarakat.

Proses pra-ajudikasi menawarkan agar seseorang didampingi pengacara namun kadang menolak adalah karena tidak yakin bahwa pengacara akan membela secara serius apabila tidak membayar, dan kadang atau bahkan seringkali tidak tersampaikan bahwa bantuan hukum bisa cuma-cuma.

Tersangka tidak bisa menolak advokat yang ditunjuk untuk membelanya, karena advokat memiliki hak imunitas dan kewajiban untuk memberikan bantuan hukum. Proses peradilan terhadap ancaman pidana yang tergolong berat harus memiliki standar yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses peradilan tindak pidana ringan.

Hak untuk mendapat bantuan hukum merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Konsep pemikiran aparat penegak hukum bahwa pemberian bantuan hukum hanya sebagai pelengkap administrasi peradilan semata, sangat tidak mencerminkan prinsip Miranda Rule.

Penolakan dari tersangka/terdakwa yang sangat bisa jadi bukan karena kehendak pribadi, meskipun ada surat penolakan yang tidak bisa dinilai mewakili kehendak juga merupakan tindakan yang melanggar imunitas Advokat.

Penolakan hanya dilakukan terhadap pembiayaan atas Advokat, sehingga kewajiban Negara untuk membiayainya, yang merupakan original intent dari probono publico atas sebagian atau seluruh biaya.

Penolakan terhadap lembaga penasehat hukum/Advokat hanya bisa dilakukan sebagai bagian dari pengakuan atas perbuatan yang dituduhkan, dan berita acara yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah berita acara pengakuan.

*Adv. Agung Pramono, SH, CIL

 

 

 

 

 

 

Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas

Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas

Ketua Presidium DPP KAI Adv. Dr. KP. H. Heru S. Notonegoro, SH., MH., CIL., CRA meminta dukungan dari seluruh pengurus yang dilantik untuk sama-sama mengabdi di KAI dengan penuh loyalitas dan keikhlasan sehingga dapat menunjukkan bahwa advokat-advokat di KAI adalah advokat yang cadas, cerdas, dan berkelas sesuai dengan tema yang diusung saat Kongres IV KAI di Solo beberapa waktu lalu.

“Kepada rekan-rekan Presidium, para Direktur dan seluruh pengurus yang baru saja dikukuhkan, mari sama-sama kita tunjukkan bahwa kita adalah orang-orang yang memiliki kapasitas, kapabilitas dan berintegritas, yang mampu menyajikan program-program berkualitas demi mewujudkan advokat KAI yang cadas, cerdas, berkelas,” tutur Heru saat memberikan arahan di acara Pelantikan dan Pengukuhan Pengurus DPP Kongres Advokat Indonesia periode 2024-2029, Jum’at 27 September 2024 di Menara Sampoerna Jakarta.

Pada acara tersebut susunan lengkap personalia Pengurus DPP Kongres Advokat Indonesia periode 2024-2029 dibacakan oleh Presidium DPP KAI Adv. Prof. Denny Indrayana, SH., LLM., PhD.

Komponen Pengurus DPP KAI periode 2024-2029 yang dikukuhkan terdiri dari jajaran Presidium, Direktorat-direktorat, Kesekretariatan, Dewan Pembina, Dewan Penasihat, Dewan Kehormatan, Komisi Pengawas, hingga Honorary Chairman.

Selain itu, Heru juga memohon dukungan rekan-rekan pengurus KAI sehingga pengabdian dan kerja-kerja nirlaba yang akan dijalani kedepan, didasarkan pada loyalitas yang penuh ikhlas, penuh dedikasi, sehingga akan melahirkan prestasi yang bermanfaat bagi kejayaan Ibu pertiwi.

Pada kesempatan yang sama Ketua MPR RI sekaligus Ketua Dewan Pembina DPP KAI Dr. H. Bambang Soesatyo, SE., SH., MBA (Bamsoet) menambahkan bawah KAI punya pekerjaan rumah dalam penegakan hukum di tanah air. “PR kita bersama mewujudkan cita-cita pendiri bangsa untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan ketidak adilan,” tutur Bamsoet.

Honorary Chairman KAI Adv. Dr. H. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, SH., MH., CLA., CIL., CLI., CRA. turut mengucapkan selamat atas dikukuhkan kepengurusan KAI. “Selamat bertugas dan mengabdi untuk kita semua,” tuturnya.

Seperti diketahui, pasca Kongres IV KAI di Solo beberapa waktu lalu, organisasi advokat ini memilih menggunakan format kepemimpinan presidium yang bersifat kolektif kolegial dan telah terpilih sembilan anggota Presidium di sidang Kongres IV KAI. Opsi ini diambil agar organisasi dapat didorong secara bersama-sama untuk menjadi organisasi advokat yang maju dan berperan besar pada perkembangan profesi.

 

 

The Chef is TSH

The Chef is TSH

 

Kongres Nasional IV Kongres Advokat Indonesia telah usai. Kongres yang dihelat di Auditorium UMS, Solo 7 – 8 Juni 2024 berakhir sangat sukses. Sembilan advokat senior menduduki jabatan Presidium KAI terpilih. Mereka adalah Dr. Umar Husin, S.H., M.Hum., Diyah Sasanti R, S.H., M.B.A., M.Kn., Prof. Denny Indrayana, S.H., L.L.M., Ph.D., Aldwin Rahardian, S.H., M.A.P., Pheo Marojahan Hutabarat, S.H. dan Heru S Notonegoro, S.H., M.H. Keenam advokat berasal dari unsur Dewan Pimpinan Pusat KAI. Sementara tiga advokat lainnya; H. Rukhi Santoso, S.H. M.B.A. berasal dari Kalimantan Timur, Dr. Rizal Haliman, S.H., M.H. dari Jawa Timur dan Israq Mahmud, S.H.I. dari Sulawesi Selatan. Ketiga advokat adalah ketua DPD provinsi masing-masing.

Sementara itu kongres memutuskan sang mantan presiden KAI, Dr. H. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, S.H., M.H., menduduki Honorary Chairman KAI. Posisi yang sebelumnya pernah diampu mendiang Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution. Nah, di sini letak mahirnya seorang TSH. Begitu biasa nama Tjoetjoe Sandjaja Hernanto disingkat. Kongres yang biasanya bergejolak, dapat ia olah sedemikian rupa bak seorang chef. TSH memahami bagaimana meramu banyaknya kepentingan agar terakomodir dan tersaji dengan baik. Selain gaya komunikasi TSH yang humble ke semua advokat KAI, hal yang sangat penting dalam rekam prestasi organisasi pada kepemimpinan TSH. KAI menjadi organisasi terbesar dan modern.

Pasca kongres, perpecahan organisasi acap kali menghantui setiap organiasi besar. Apalagi organisasi advokat. Dimana di dalamnya berkumpul para retoris-retoris handal. Tak hanya itu, kecenderungan (baca: birahi) memimpin menyelimuti kandidat hampir pada proses suksesi.

TSH mengatakan, yang membedakan penegak hukum lainnya dengan advokat yaitu penegak hukum lainnya selalu tunduk pada hirarki kuasa berbeda dengan advokat. Bagi advokat, kritik lebih dahulu daripada taat. TSH paham betul tentang itu.

Karenanya, TSH menggunakan resep silogisme dalam penyajian di hadapan peserta kongres. Dalam pendekatan ini TSH mencoba membagi atas dua premis kepemimpinan yaitu, “presidensial dan presidium”. Logikanya, untuk bisa merasakan sajian presidium adalah pilihan terbaik maka TSH menjabarkan bagaimana apabila memilih presidensial yaitu dengan ancaman perpecahan karena rekam jejak organisasi advokat demikian. Alih-alih membesarkan marwah profesi advokat, organisasi advokat akan disibukkan dengan urusan internal yang tak berkesudahan. Seperti saling gugat di pengadilan, berebut sekreriat dan logo dan sebagainya.

Selain membahas mengenai alasan “mengapa presidium”, TSH juga mengajak menanggapi mengenai beberapa isu yang sedang berkembang pada saat ini. Salah satunya adalah penegak hukum lainnya berlomba memperkuat lembaganya dengan penambahan kewenangan.

Organiasi advokat harusnya menemukan kembali kitisismenya dimana profesi advokat harus menyatakan diri senyata-nyata officium nobile.

Tentu saja, peserta kongres dapat menerima tawaran presidium sebagai jalan tengah. Peserta akhirnya mengubah AD/ART KAI. Hal ini tak lain dikarenakan seabrek rekam jejak TSH menjadikan organiasi advokat yang berkelas disamping beliau bersih dan memliki komitmen membesarkan profesi advokat. Maka sangat wajar TSH mendapatkan apresiasi dari seluruh advokat KAI.

Sepulangnya dari kongres, tak tampak lagi wajah kecewa peserta kongres akibat kekalahan. Tak ada lagi faksi menang atau atau kalah. Semua peserta kongres sangat puas dan gembira. Layaknya reuni antar advokat yang lama tak bertemu. Keakraban. Air wajah puas tanpa faksi. Ke depan KAI akan menyongsong babak baru system presidium. Lebih banyak mengakomodir ide dan gagasan, akan lebih terasa taste kemajuan profesi advokat. Inilah “hidangan” baru dari The Chef, Tjoetjoe Sandjaja Hernanto.

 

Oleh : Adv. Ebin Marwi, S.H.I., M.H.

Ditulis saat terbang di atas Super Jet.
Perjalanan pulang dari Solo – Balikpapan
9 Juni 2024

 

 

 

Dihadiri Ribuan Advokat, Kongres IV KAI di Solo Trending Topic di Platform X

 

Ribuan advokat menghadiri Kongres Nasional ke-IV Kongres Advokat Indonesia (KAI) di Edutorium UMS Ahmad Dahlan Solo, Sabtu (8/6). Terpantau di platform X, hashtag #KongresIVKAI2024 jadi trending topic nasional. “Kalian tau ga si #KongresIVKAI2024 itu agenda lima tahunan dari organisasi kai yang menjadi forum pengambilan keputusan tertinggi di tingkat organisasi,” cuit akun @cimotyy (Fanny) yang telah terverifikasi oleh platform X (dulu Twitter).

Selain itu akun Alisa_byanda juga mengungkapkan bahwa memang banyak advokat yang hadir dalam kegiatan tersebut. “Keren! Sampe ribuan advokat se-indonesia yg tergabung dlm KAI hadir menyemarakkan #KongresIVKAI2024 semoga hasil pertemuannya mendapatkan keputusan yg terbaik,” tuturnya melalui akun @Alisa_bya.

Dalam Kongres tersebut, KAI memilih untuk mengganti sistem kepemimpinan organisasinya dari presidensil menjadi model presidium. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan organisasi dari potensi perpecahan secara internal. “Kita setuju untuk menggunakan sistem presidium yang bersifat kolektif kolegial untuk memimpin KAI kedepan,” kata pimpinan sidang Kongres IV KAI Adv. Aldwin Rahadian.

Sembilan orang anggota Presidium KAI yang telah disepakati oleh anggota Kongres di antaranya ada Heru Notonegoro, Aldwin Rahadian, Umar Husin, Denny Indrayana, Pheo Hutabarat, Diyah Sasanti, Rizal Haliman, Israq Mahmud, dan Rukhi Santoso. “Komposisi Presidium KAI terdiri dari enam orang unsur pusat dan tiga orang dari unsur daerah,” jelas Aldwin kepada media.

Pada kesempatan tersebut, KAI juga mengaktifkan kembali jabatan Honorary Chairman yang pernah ditempati oleh Advokat Adnan Buyung Nasution semasa hidup. Menurut penjelasan Aldwin, Honorary Chairman merupakan jabatan kehormatan yang diberikan kepada tokoh yang berjasa kepada organisasi.

“Kongres memutuskan untuk mengaktifkan kembali Honorary Chairman yang telah non aktif selama hampir satu dekade. Kita semua sepakat untuk mengangkat Presiden KAI Demisioner Dr. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto untuk jadi Honorary Chairman,” kata Aldwin.

Kongres IV KAI yang diadakan pada 7-8 Juni 2024 di Edutorium UMS Surakarta turut dihadiri tamu-tamu undangan seperti Sekda Jawa Tengah, dari ICJR, LPSK, dekan FH beberapa kampus, dan para Jenderal Purnawirawan Polri. Di KAI sendiri banyak purnawirawan jenderal polisi yang menjadi advokat.